Pertunjukan dan Gerakan
Sosial:
Media Hiburan
dalam Revolusi 1945-1949 di Yogyakarta
(sebuah eksplorasi awal)
Oleh Aulia Rahman
Pengantar
Hiburan
merupakan hal yang sangat akrab dengan masyarakat Indonesia. Hingga kini telah
dikenal berbagai macam jenis media hiburan, baik itu yang berupa sastra, seni
lukis, seni suara, musik, drama, film, hingga olah raga.
Jika
menengok kesenian dimasa silam, terutama pada waktu masa revolusi 1945-1949, media
hiburan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga digunakan sebagai
media-media untuk mendukung tujuan revolusi. Kontribusi media hiburan tidak
bisa dipandang sebelah mata dalam revolusi.
Selain
di Yogyakarta, peran media hiburan dalam revolusi ini dapat dilihat di berbagai
kota besar di Indonesia, misalnya di Surabaya. Di Surabaya, media hiburan
seperti lukis, sastra, teater, toneel (Sandiwara), wayang suluh, dan
juga musik, mampu memberikan kontribusinya yang cukup besar.[1] Semuanya
tampak memberikan kontribusi, sesuai dengan bidangnya, yang jelas, dimana hiburan
mampu melakukan tugasnya sebagai media yang sifatnya menghibur, sekaligus mampu
membangkitkan kesadaran masyarakat mengeni makna revolusi.
Keluwesan
dari media hiburan ini, seringkali dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan
tertentu, cenderung dibawa ke ranah politik. Hal ini dapat dilihat ketika
Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942, dimana dalam awal penjajahannya
Jepang melakukan propaganda dengan memanfaatkan dunia hiburan (kesenian), yang
bertujuan untuk menyampaikan maksud dan tujuannya dalam menjajah Indonesia.
Tidak
hanya itu, Republik Indonesia juga menggunakan media hiburan untuk
maksud-maksud politik. Seperti yang dilakukan W.R Supratman dengan lagu
Indonesia Raya -yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia– untuk
membangkitkan rasa nasionalisme para pemuda.
Melihat
fenomena semacam ini, media hiburan ternyata bersifat fleksibel dan bisa
diarahkan dalam bidang apa saja, yang sesuai dengan kepentingan. Dengan
demikian, ada kecenderungan membawa media hiburan ke dalam ranah yang lebih
luas, yakni sebagai alat propaganda (Jepang) dan alat untuk membangkitkan
nasionalisme (Republik Indonesia).
Hal
ini dapat dilihat, bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia telah akrab dengan
berbagai jenis media hiburan. Akan lebih mudah menggunakan media hiburan untuk
memberikan pengertian kepada masyarakat akan maksud sesuatu hal.
Permasalahan
Tentu
saja ada perbedaan yang sangat mendasar, antara perjuangan ala media hiburan
dengan perjuangan ala tentara ataupun laskar rakyat. Tujuan perjuangan dengan
media hiburan ini lebih membidik pada mental masyarakat. Mental masyarakat juga
perlu untuk dibebaskan dari penjajahan, dengan cara diberikan pencerahan.
Pencerahan
tersebut berupa sosialisasi menggunakan media hiburan, yang sangat efektif
kepada masyarakat dalam menyampaikan pesan-pesan revolusi (kemerdekaan). Media
hiburan dengan memanfaatkan keluwesannya, mampu menjangkau masyarakat hingga
pada lingkup yang terkecil, desa.
Pokok
pembahasan dalam makalah ini adalah, media hiburan apa saja yang berkontribusi
dan bagaimana bentuk-bentuk kontribusi yang diberikan media-media hiburan
tersebut terhadap revolusi 1945-1949 di Yogyakarta
Kerangka Konsep
Salah
satu unsur dalam media hiburan adalah kesenian. Kesenian ini memiliki peran
yang sangat penting dalam masyarakat. seperti yang dikatakan oleh Timbul
Haryono, kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat
diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kesenian
merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya rasa keindahan yang tumbuh
dalam sanubari manusia dari masa ke masa dan hanya dapat dinilai dengan ukuran
rasa keindahan.[2]
Lebih lanjut, seni juga dapat dikatakan kreasi bentuk-bentuk simbolis dari
perasaan manusia.[3]
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Koentjaraningrat, bahwa pengindraan
perasaan seseorang dapat diwujudkan dalam berbagai saluran, seperti: seni rupa,
seni bangun, seni musik, seni tari, seni drama, seni sastra dan lain
sebagainya.[4]
Seni
memiliki sifat-sifat dasar umum yang dapat dijumpai dimanapun, yakni: 1)
mempunyai arti yang bermakna budaya, seperi misalnya menjadi sarana hubungan
dengan kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi dan pendidikan, 2)
Memeperlihatkan gaya, yaitu gaya dipandang sebagai tradisi milik bersama dalam
suatu kebudayaan dan sebagai tanda agar seni dapat menyampaikan arti, 3)
memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya seni sehingga
seseorang seniman dapat dibedakan dengan orang biasa.[5]
Namun
realitas di masyarakat, terdapat bentuk-bentuk lain yang bisa dilakukan oleh
seni. Artinya pelaku seni melakukan inovasi terhadap kesenian yang didasarkan
pada kebutuhannya (pekerja seni) ataupun kebutuhan masyarakat. dalam lingkup
yang lebih luas, kesenian juga memasuki ranah politik.
Dalam
konteks media hiburan (termasuk kesenian) pada masa revolusi di Yogyakarta,
ternyata memiliki fungsi yang lain daripada sekedar memberikan pemahaman kepada
masyarakat akan makana-manka revolusi, namun memberikan sumbangan materi untuk
dana perjuangan para laskar-laskar rakyat maupun para tentara. Sumbangan ini
tentu sangat berguna, mengingat para laskar-laskar dan tentara tersebut
berjuang ditengah keterbatasan-keterbatasannya.
Kerangka
teori
Dominasi
Barat beserta perubahan sosial yang mengikutinya menciptakan kondisi-kondisi
yang penuh kecenderungan bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial.[6] Sebagai
aktifitas kolektif, pergerakan sosial bertujuan hendak mewujudkan atau
sebaliknya, menolak suatu perubahan dari susunan masyarakat, dimana seringkali
dengan jalan yang radikal dan revolusioner.[7]
Gerakan yang dalam konteks makalah
ini, bukanlah gerakan-gerakan sosial yang radikal dan revolusioner seperti yang
disebutkan diatas, namun lebih pada gerakan para para pelaku media hiburan,
dengan mengubah meda hiburan agar memiliki sumbangan yang nyata dalam revolusi.
Dalam gerakan sosial ini, kita bisa melihat bagaimana kecerdikan dari para
pelaku media hiburan untuk melakukan perubahan-perubahan yang tepat sesuai
dengan tuntujan jamannya.
Yang
tidak kalah penting, adalah media hiburan itu sendiri. Sifatnya cenderung mudah
diterima oleh masyarakat, membuat media hiburan ini mudah dalam memainkan
keluwesannya, tanpa kehilangan fungsi dasarnya sebagai media penghibur. Seperti
yang dikatakan Malinowski, bahwa terbentuknya kebudayaan, termasuk kebudayaan
baru, adalah karena manusia dihadapi persoalan yang meminta pemecahan serta
penyelesaiannya.[8]
Dalam
konteks ini, media hiburan mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada
(revolusi), dengan melakukan beberapa perubahan-perubahan, baik dari segi
substansi (isi dari media hiburan) maupun dari segi tujuan secara langsung.
Sekilas Kisah
Yogyakarta sebagai Panggung Peperangan
Masa
revolusi fisik yang terjadi tahun 1945-1949, hampir diseluruh kota-kota di
Indonesia hingga pedesaan, rakyatnya melakukan gerakan mengangkat senjata untuk
mengusir Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia pasca menyerahnya Jepang
terhadap sekutu. Kota-kota yang bergejolak antara lain, Bandung, Semarang,
Solo, Surabaya, hingga Yogyakarta.
Disini,
Yogyakarta memiliki posisi yang penting dibandingkan dengan daerah yang lain.
Hal ini disebabkan adanya keputusan dari rapat kabinet pada tanggal 3 Januari
1946, yang isinya memindahkan kekuasaan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta
pada karena keadaan di Jakarta semakin mengkhawatirkan[9].
Meski
demikian, Yogyakarta tetap saja dapat ditakhlukkan oleh Belanda dan sekaligus
menangkap para pemimpin tinggi negara, seperti Soekarno dan M. Hatta. Bersamaan
dengan tertangkapnya para pemimpin tinggi negara tersebut, tentara (dan juga
laskar rakyat tentu saja), menyingkir dari kota menuju pedesaan, untuk menyusun
strategi serta melancarkan perang gerilya.
Meskipun
sedang dalam masa peperangan, tampaknya suasana di dalam kota Yogyakarta
sendiri cukup masih bisa digunakan untuk menyelenggarakan pertunjukan hiburan.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya acara-acara hiburan yang digelar di
berbagai tempat di Yogyakarta, mulai dari tempat yang tertutup hingga tempat
yang terbuka. Bahkan acara hiburan tersebuit kebanyakan dimulai pada malam hari.
Pada
tempat tertutup, dapat ditemukan beberapa pertunjukan hiburan yang digelar di
gedung. Sementara itu di tempat terbuka, banyak sekali acara hiburan yang
diadakan di alun-alun utara kota Yogyakarta. Pada masa ini, gedung bioskop
tetap beroperasi dengan film Barat-nya.
Media Hiburan
di Yogyakarta pada Masa Revolusi
Yogyakarta
pada kurun waktu tahun 1945-1949, berada dalam kondisi yang relatif tidak
kondusif keamanannya akibat dari konflik bersenjata antara Indonesia dengan
Belanda. Meskipun demikian, kegiatan hiburan dikota ini tetap berlangsung
semarak.
Teater
dan seni pertunjukan misalanya, tetap melakukan pertunjukan di kota-kota yang
dikuasai Belanda. Di kota yang diduduki republik pun, kegiatan yang bersifat
hiburan juga berjalan. Sementara di daerah pedesaan yang merupakan basis
perlawanan rakyat melawan Belanda, kegiatan teater juga berjalan dalam jalur
rakyat total.[10]
Film-film di bioskop juga banyak yang diputar.
Pada
dasarnya, Tujuan dari media hiburan tersebut ini sebagai penghibur masyarakat
ditengah-tengah peperangan. Namun dalam masa revolusi ini, media hiburan
memiliki fungsi yang berlipat-lipat. Semuanya bermuara pada dukungan terhadap
revolusi fisik. Dilakukan inovasi agar media hiburan juga dapat dijadikan
sebagai alat perjuangan. Seperti yang dikatakan Malinowski, bahwa terbentuknya
kebudayaan, termasuk kebudayaan baru, adalah karena manusia dihadapi persoalan
yang meminta pemecahan serta penyelesaiannya.[11]
Inovasi
inilah yang mungkin disebut sebagai kebudayaan baru yang diciptakan untuk
menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada dalam pergerakan nasional.
Misalnya saja permasalahan sosialisasi terhadap masyarakat luas mengenai tujuan
pergerakan nasional, membangkitkan rasa nasionalisme, bahkan tujuan untuk
mendapatkan dana peperangan.
Misalnya
saja didunia teater, dimana selama revolusi sangat bergairah guna menumbuhkan
kesadaran akan kesatuan nasional dengan jiwa patriotiknya.[12] Disini
yang mereka tekankan adalah cerita yang dibawakan dalam pertunjukan teater. Makna
yang disampaikan diharapkan mampu ditangkap oleh para penonton. Hal ini sangat
efektif sebagai jembatan untuk menumbuhkan jiwa patriotisme masyarakat desa.
Tujuan
lain dari media hiburan adalah memberikan sumbangan material kepada laskar
rakyat yang sedang berperang melawan Belanda. Dalam konteks ini, media hiburan
ditampilkan dengan format, seni pertunjukan yang diadakan di dalam ruang
tertutup, sehingga bagi yang ingin melihatnya harus membayar sejumlah uang
sesuai dengan tarif karcis. Harga karcisnya pun berbeda-beda, disesuaikan
dengan kelas-kelasnya.[13]
Hasil
dari penjualan karcis ini disumbangkan kepada laskar rakyat. Besarannya pun
bervariasi. Ada yang seluruh hasil penjualan karcis begitu saja disumbangkan,
ada juga yang hanya beberapa persen dari total penjualan karcis. Banyak sekali
jenis media hiburan melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan seperti disebutkan
diatas, diantaranya seni musik, drama, film, hingga olah raga.
Bentuk-Bentuk
Media Hiburan
- Seni Musik
Bukan
hal baru jika musik dikaitkan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita pasti
ingat sosok W.R Supratman, dengan lagu Indonesia Raya ciptaannya yang mampu
membangkitkan semangat nasionalisme pemuda. Selain itu, ada juga sosok Ismail
Marzuki yang juga dengan konsisten menggunakan musik sebagai media perjuangan.[14] Ciptaan
lagu-lagu yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme para pemuda, merupakan jurus andalan dari
kedua maestro musik tersebut.
Di
Yogyakarta, tampaknya musik juga mengambil peran dalam revolusi tahun 1945-1949.
Tampilnya seni musik dalam konteks ini adalah karena sifatnya yang relatif bisa
diterima oleh semua kalangan, dari masyarakat golongan bawah hingga masyarakat
golongan bangsawan. Pertunjukan musik biasanya digelar di tempat-tempat tertutup,
seperti gedung atau hotel. Hal ini dikarenakan pertujukan ini memiliki sifat
komersil. Misalnya saja pertunjukan musik Malam Seni Suara (Soiree Musical)
pada tanggal 1 dan 2 Juni 1946, yang bertempat di Gedoeng “Rex” Toegoe.[15] Acara
ini diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Kebudayaan Bagian Seni Suara
Tugu.[16]
Musik
yang dipertontonkan merupakan jenis musik modern. Alat musik yang dimainkan
antara lain piano, biola, serta vokal. Dalam pertunjukan tersebut akan
menampilkan musisi-musisi terbaik yang namanya sudah tersohor. Hanya saja,
dalam iklan ini tidak disebutkan nama-nama dari para musisi-musisi yang akan
mengisi acara.[17]
Dengan
slogan ‘Menikmati Kesenian Sambil Beramal’, pihak penyelenggara berusaha untuk
menarik perhatian penikmat seni untuk menghadiri pertunjukan. Karena sebagian
dari hasil penjualan tiket pertunjukan ini akan disumbangkan kepada para laskar
rakyat yang sedang berjuang mengahadap Belanda. Dalam iklan tersebut dikatakan
bahwa tiket dapat didapatkan di Hotel Merdeka, Restaurant Nagoer, Dj Soembing
5, dan Setjodiningratan 30.
Selain
itu, musik kroncong juga juga melakukan hal yang serupa. Dengan judul Krontjong
Malam, Barisan Banteng Republik Indonesia, mengadakan pertunjukan kroncong
amal.[18]
Pertunjukan tersebut diadakan selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 8,
9, dan 10 April 1946 yang bertempat di gedung Indra.
Dikatakan
dalam iklan tersebut, para rombongan pemusik menjanjikan penampilan yang lebih
hebat daripada penampilan yang sudah-sudah. Untuk menarik pengunjung, pihak
panitia menyediakan 10 macam hadiah yang akan diundi pada malam terakhir
pertunjukan.
Acara
tersebut mengambil slogan ’Gempar!!! Gentar!!! Beramal!!!’ tersebut diramaikan
oleh bintang tamu-bintang tamu yang terkenal, seperti Sri Moelat dan
Koentjoeng, Asmara, Soeginah, Kamsirah, dan Samsidi (pendatang lama). Selain
itu ada juga bintang tamu yang didatangkan dari luar kota, seperti Nji Atimah
Kartini dari Pati, Mirwani dan Soeminto.
Tiket
disediakan dalam dua kelas. Tiket kelas 1 seharga f 20,- sedangkan tiket kelas
dua dijual dengan harga yang lebih murah, f 10,-. Tiket tersebut dapat
didapatkan di Markas Gaboengan Setjodiningratan. Seluruh hasil penjualan tiket
ini, disumbangkan untuk perjuangan Barisan Banteng Republik Indonesia.
- Seni Pertunjukan (Sandiwara)
Media
hiburan yang banyak melakukan pertunjukan di Yogyakarta pada masa revolusi ini
adalah seni pertunjukan, seperti drama ataupun teater. Hal ini bisa dilihat
dari banyaknya iklan-iklan yang memenuhi halaman iklan koran-koran lokal
Yogyakarta, yang menginformasikan mengenai pertunjukan-pertunjukan yang akan
dipentaskan.[19]
Tidak
aneh jika memang demikian, karena Yogyakarta memang memiliki tradisi yang
panjang terhadap media hiburan seperti ini. Semua lapisan masyarakat, mulai
dari masyarakat umum, bangsawan, maupun laskar perjuangan, berusaha untuk
membantu perjuangan melalui media seni pertunjukan ini.
Cerita
yang diangkat dalam drama ini pun juga senada dengan kondisi sosial dan politik
pada masa tersebut. Seperti sandiwara yang berjudul Dibelakang Kedok Djelita
karya Sri Moertono,[20] yakni
kisah perjuangan yang dibalut dalam sebuah kisah percintaan yang penuh dengan tipu
daya, muslihat dan pengkhianatan.
Diungkapkan
dalam iklan tersebut, sandiwara ini bercerita mengenai mata-mata dimasa
revolusi. Terjadi pertempuran yang hebat antara tentara pemberontak (laskar
rakyat) melawan mata-mata musuh, yang merupakan tangan kanan vd. Plas, yang
memiliki senjata senyuman bibir bermadu. Seorang pemberontak melawan kekasihnya
yang menjadi mata-mata Nica.
Pertunjukan
sandiwara karya Sri Moertono diprakarsai oleh B.B.I Yogyakarta ini, dimainkan
selama tiga hari berturut-turut, mulai pada tanggal 9, 10, dan 11 April 1946.
Sedangkan tempatnya adalah di Soboharsono, alun-alun utara yang dimulai pukul
delapan malam. Karcis disediakan dalam empat macam kelas. Tiket kelas istimewa
dijual seharga f 15,-, tiket kelas I seharga f 10,-, tiket kelas II f 5,- dan
tiket kelas III f 2,-. Karcis dapat didapatkan di kantor B.B.I – sayap Kiri
Tugu 2 – Asrama Laskar Buruh Gondomanan. Hasil penjualan tiket akan diserahkan
pada Pemogokan di Jakarta, pembangunan kota Ambarawa, barisan “P”, I.P.I., dan
Buruh.[21]
Pada
tanggal 21 dan 22 Juni 1946, giliran Pesindo[22] ranting
Pakualaman yang mengadakan pertunjukan sandiwara amal, yang acaranya digelar di
Soboharsono, alun-alun utara.[23] Dalam
kesempatan ini judul cerita yang diambil adalah Boenga Indonesia. Selama
pertunjukan, diiringi oleh orkesta Badpersi serta penyayi terkenal seperti Soerono.
Karcis disediakan dalam empat macam kelas. Tiket kelas I dijual seharga f 10,-,
tiket kelas II seharga f 7,5,-, tiket kelas III f 5,- dan tiket kelas IV f 2.
Hasil penjualan karcis akan disumbangkan bagi perjuangan.
- Film
Pada
masa pendudukan Jepang, ada peraturan yang melarang diputarnya film-film barat
di gedung bioskop. Satu-satunya film yang boleh diputar adalah film yang
memililki kepentingan langsung dengan Jepang, seperti untuk kepentingan
propaganda. Hal ini tentu sangat mengurangi tontonan film yang sangat menarik,
karena film-film dari barat (Amerika) merupakan film yang sangat bagus dan
begitu digemari.
Meskipun
dalam masa revolusi, bukan berarti segala sesuatu yang kebarat-baratan dilarang
beredar di Yogyakarta. Dilihat dari sudut pandang perfilman, dalam kurun waktu
revolusi ini banyak sekali bioskop-bioskop yang memutarkan film-film barat. Tidak
diketahui siapa pemilik dari bioskop-bioskop yang memutar film-film asing
tersebut. Namun yang jelas, hasil dari penjualan tiketnya disumbangkan pada beberapa
lembaga perjuangan di Yogyakarta.
Misalnya
film berjudul Charlie Chan In The City In Darknes yang diputar di Gedung
Bioskop Tandjung. Tiket disediakan dalam dua kelas. Kelas I seharga f 15,-, dan
kelas II seharga f 10,-. Total hasil penjualan tiket bioskop ini akan
disumbangkan pada beberapa lembaga perjuangan. Sebanyak 50% disumbangkan untuk
GPPI bagian usaha, sebanyak 25% untuk Panitia Kesehatan Kota, dan 25 % untuk Pandoe
Rakyat.[24]
Film
asing lainnya adalah Murder In New York. Dilihat dari judulnya tampaknya
film ini berasal dari Amerika. Sama seperti film sebelumnya, film ini diputar
di gedung bioskop Tandjung, dengan format amal. Tiket hasil penjualan akan
diberikan kepada Laskar Rakyat 12 Kemantren Kota Yogyakarta.[25]
Film
lainnya adalah berjudul Gone With The Wind, yang diputar di gedung
bioskop Indra pada tanggal 2 Mei 1946.[26] Tampaknya
film ini merupakan favorit dibandingkan dengan film-film asing yang lain. Ini
dapat dilihat dari harga tiketnya yang lebih mahal dibandingkan dengan tiket
film-film yang lainnya. Untuk bisa menyaksikan film ini, tiket kelas I dihargai
sebsar f 25,- dan kelas dua dihargai sebesar f 15,-. Meski harga yang dipatok
lebih mahal, tapi sifat dari pemutaran film ini adalah amal. Untuk menarik
minat penonton, pihak penyelenggara menyediakan hadiah-hadiah berupa pakaian
untuk laki-laki maupun perempuan.
- Olah Raga
Geliat
Masyarakat Yogyakarta dalam membantu revolusi sangat luar biasa. Bukan melalui
perjuangan mengangkat senjata, melainkan melalui jalur-jalur yang sesuai
kompetensi mereka. Diatas telah dipaparkan perjuangan masyarakat melalui jalur
seni dan film. Tapi ternyata perjuangan masyarakat tidak terbatas pada hal
tersebut. Olahraga pun (terutama sepak bola) ternyata juga menjadi saluran
masyarakat untuk berjuang.
Dengan
tajuk Pertandingan Sepak Bola Besar Oentoek Amal, diadakan pertandingan amal
yang melibatkan klub-klub lokal seperti PSIM Yogyakarta, PS Klaten, dan Persis
yang bertempat di stadion Kridosono.[27]
Pertandingan dilaksanakan antara tanggal 3 Mei hingga 5 Mei 1946. Karena
bertajuk pertandingan amal, hasil dari penjualan tiketnya akan disumbangkan,
yakni sebanyak 10 % untuk BPRI pusat, 10% divisi laskar rakyat, 20% untuk
pemogokan di Tanjung Priok, 20% untuk PSIM, dan sebanyak 40% untuk Laskar Buruh
Djawatan Gondolajoe No.9.
Selain
dengan klub lokal, pertandingan amal sepak bola juga melibatkan klub-klub dari
luar daerah. Pada tanggal 24 sampai 29
Juni 1946 bertempat di stadion Kridosono akan dilangsungkan pertandingan antara
PSIM Yigyakarta, Chung Hua Tsung Hui Mataram (CHTH).[28]
Pendapatan tiket dari pertandingan ini digunakan untuk menyokong laskar rakyat
yang sedang bertempur mempertahankan daerah Jawa Barat Pusat Karawang. Hal ini
berarti, perjuangan revolusi sifatnya telah melampaui sekat-sekat wilayah dan
etnis.
Penutup
Kebebasan
berkesenian yang diberikan pada masa pendudukan Jepang, tampaknya menjadi salah
satu pemicu perkembangan seni tersebut. Meskipun pada saat itu kesenian
digunakan sebagai alat propaganda saja, namun para pekerja seni berserta
keseniannya mampu bertahan dan mempertahakan kelangsungan seni tersebut. Bahkan
ada yang menyebutkan, bahwa pada masa pendudukan Jepang sebagai “musim semi
sandiwara”.[29]
Banyaknya
pertunjukan kesenian keliling memiliki pengaruh terhadap citra dari kesenian
tersebut. Selera dan pemahaman terhadap kesenian menyebar kepada masyarakat
melalui pertunjukan-pertunjukan keliling ini. Tidak sedikit para pelajar
memasuki dunia kesenian. Mereka memandang bahwa kesenian merupakan panggilan
hidup dan status sosialnya tidak kalah dibandingkan menjadi pegawai negeri.[30]
Tumbuh
kembang media hiburan (kesenian dan olah raga) pada masa revolusi sangat luar
biasa. Banyak sekali pertunjukan-pertunjukan hiburan yang diadakan di berbagai
tempat. Hal itu tentu saja tidak berjalan begitu saja. Melainkan ada sebuah
proses intensif yang dilakukan oleh para pekerja media hiburan untuk
mengembangkan media hiburan tersebut ditengah masyarakat. Media-media hiburan
tersebut mampu menjawab tantangan jaman dengan berkontribusi nyata dalam
revolusi
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Buku
C. Israr, Sejarah Kesenian Islam I, (Jakarta:
PT Pembangunan, 1995)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan,
(Jakarta: Gramedia, 1974)
Masjkuri dkk. (eds), Sejarah Daerah Istimewa
Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982)
Nur Iswantara, Sri Murtono: Teater Tak Pernah Usai
(Sebuah Biografi), (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004)
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982)
Tashadi dkk, Peranan Desa dalam Perjuangan Kemerdekaan:
Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta Periode
1945-1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992)
----------------,. Partisipasi Seniman dalam
Perjuangan Kemerdekaan di Propinsi Jawa Timur: Studi Kasus Kota Surabaya
Tahun 1945-1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 1999)
Teguh Esha dkk. (eds), Ismail Marzuki: Musik, Tanah
Air dan Cinta, (Jakarta: LP3ES, 2005)
Sumber Koran dan Makalah
Harian
Kedaulatan Rakyat
30 April 1946, 21 Juni 1946, 19 Juni 1946, 6 April 1946, 25 Juni 1946, 18
Juni 1946.
Sartono Kartodirdjo, Pergerakan Sosial dalam
Sejarah Indonesia: Pidato Dies Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19
September 1967 di Sitihinggil Yogyakarta.
Timbul Haryono, Sejarah Seni
Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi, yang dipresentasikan dalam Diskusi
Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa yang
diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta,
17-18 Mei 2006.
[1] Baca Partisipasi Seniman dalam Perjuangan
Kemerdekaan di Propinsi Jawa Timur: Studi Kasus Kota Surabaya Tahun
1945-1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 1999). Buku ini mengisahkan mengenai perjuangan para seniman dengan
karya-karyanya yang mampu memberikan kontribusi nyata dalam perjuangan, mulai
dari memberikan sosialisasi hingga membangkitkan semangat nasionalisme dan
membangkitkan militansi dalam mengahadapi tentara Belanda, di lingkup Surabaya.
[3] Dikutip Timbul Haryono dari Langer, dalam papper
berjudul Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi, yang
dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan
Pembangunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.
[4]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan,
(Jakarta: Gramedia, 1974), hlm. 107-109.
[5] Dikutip Timbul Haryono dari Richard L. Anderson dan
Sedyawati, papper berjudul Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif
Arkeologi, yang dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah
Seni Pertunjukan dan Pembanunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.
[6] Sartono Kartodirdjo, Pergerakan Sosial dalam
Sejarah Indonesia: Pidato Dies Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19
September 1967 di Sitihinggil Yogyakarta, hlm. 40.
[7] Sartono Kartodirdjo, Ibid, hlm. 38.
[8] Pendapat Malinowski yang dikutip oleh Nur Sahid: Pengaruh
Modernisasi Terhadap Kehidupan Beberapa Pertunjukan Jawa Tradisional: Studi
Tentang Perbedaan Kebudayaan, dalam Nur Sahid (ed), Interkulturalisme
dalam Teater, (Yogyakarta: Tawang Press, 2000), hlm 4.
[9] Tashadi Dkk, Peranan Desa dalam Perjuangan
Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah Istimewa
Yogyakarta Periode 1945-1949, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta; 1992, hlm. 20.
[10] Nur Iswantara, Sri Murtono: Teater tak Pernah Usai
(Sebuah Biografi), (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004), hlm. 71.
[11] Pendapat Malinowski yang dikutip oleh Nur Sahid: Pengaruh
Modernisasi Terhadap Kehidupan Beberapa Pertunjukan Jawa Tradisional: Studi
Tentang Perbedaan Kebudayaan, dalam Nur Sahid (ed), Interkulturalisme dalam
Teater, (Yogyakarta: Tawang Press, 2000), hlm 4.
[12] Ibid, hlm. 72.
[13] Lihat Iklan pada harian Kedaulatan Rakyat pada tahun
1946.
[14] Mengenai Ismail Marzuki, lihat Teguh Esha dkk.,
Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air dan Cinta, (Jakarta: LP3ES, 2005). Pada kurun
waktu 1930-142, Ismail Marzuki telah menjadikan musik sebagai alat perjuangan. Lagu-lagu
ciptaannya begitu mengispirasi para pemuda dalam perjuangan. Pada periode
1945-1950, Ismail Marzuki tetap berjuang dengan musik dengan membentuk orkes Empat
Sekawan, yang memiliki agenda tetap untuk mengisi acara lagu di RRI Jakarta.
[15] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 25 Juni
1946.
[16] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 18 Juni
1946
[17] Pada tanggal 22 dan 23 Juni, pertunjukan serupa juga
akan dilakukan ditempat yang sama, yakni di Gedung Bioskop Tugu (Rex). Lihat
iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 1946.
[18] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 6 April
1946. Lihat juga iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 4 April 1946.
[19] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat sepanjang tahun
1946, yang begitu banyak didominasi oleh berbagai media hiburan yang akan
mengadakan pertunjukan.
[20] Lihat Iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 6 April
1946. Sri Moertono sendiri merupakan tokoh teter yang memiliki peranan sangat
besar dalam revolusi melalui jalur perjuangan teater, di Yogyakarta. Mengenai
Sri Moertono, dapat dilihat dalam Nur Iswantara, Sri Murtono: Teater
tak Pernah Usai (Sebuah Biografi), (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004)
[21] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 6 April
1946.
[22] Pesindo adalah singkatan dari Pemuda Sosialis
Indonesia
[23] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 19 Juni
1946.
[24] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 4 Juni
1946.
[25] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 30 April
1946.
[26] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 30 April
1946
[27] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 30 April
1946
[28] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juni
1946
[29] Masjkuri Dkk. (eds), Sejarah Daerah Istimewa
Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982), hlm.
273.
[30] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar