Kamis, 01 Agustus 2013

Media Hiburan dalam Revolusi 1945-1949 di Yogyakarta



Pertunjukan dan Gerakan Sosial:
Media Hiburan dalam Revolusi 1945-1949 di Yogyakarta
 (sebuah eksplorasi awal)

Oleh Aulia Rahman


Pengantar
Hiburan merupakan hal yang sangat akrab dengan masyarakat Indonesia. Hingga kini telah dikenal berbagai macam jenis media hiburan, baik itu yang berupa sastra, seni lukis, seni suara, musik, drama, film, hingga olah raga.
Jika menengok kesenian dimasa silam, terutama pada waktu masa revolusi 1945-1949, media hiburan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga digunakan sebagai media-media untuk mendukung tujuan revolusi. Kontribusi media hiburan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam revolusi.
Selain di Yogyakarta, peran media hiburan dalam revolusi ini dapat dilihat di berbagai kota besar di Indonesia, misalnya di Surabaya. Di Surabaya, media hiburan seperti lukis, sastra, teater, toneel (Sandiwara), wayang suluh, dan juga musik, mampu memberikan kontribusinya yang cukup besar.[1] Semuanya tampak memberikan kontribusi, sesuai dengan bidangnya, yang jelas, dimana hiburan mampu melakukan tugasnya sebagai media yang sifatnya menghibur, sekaligus mampu membangkitkan kesadaran masyarakat mengeni makna revolusi.
Keluwesan dari media hiburan ini, seringkali dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, cenderung dibawa ke ranah politik. Hal ini dapat dilihat ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942, dimana dalam awal penjajahannya Jepang melakukan propaganda dengan memanfaatkan dunia hiburan (kesenian), yang bertujuan untuk menyampaikan maksud dan tujuannya dalam menjajah Indonesia.
Tidak hanya itu, Republik Indonesia juga menggunakan media hiburan untuk maksud-maksud politik. Seperti yang dilakukan W.R Supratman dengan lagu Indonesia Raya -yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia– untuk membangkitkan rasa nasionalisme para pemuda.
Melihat fenomena semacam ini, media hiburan ternyata bersifat fleksibel dan bisa diarahkan dalam bidang apa saja, yang sesuai dengan kepentingan. Dengan demikian, ada kecenderungan membawa media hiburan ke dalam ranah yang lebih luas, yakni sebagai alat propaganda (Jepang) dan alat untuk membangkitkan nasionalisme (Republik Indonesia).
Hal ini dapat dilihat, bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia telah akrab dengan berbagai jenis media hiburan. Akan lebih mudah menggunakan media hiburan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat akan maksud sesuatu hal.

Permasalahan
Tentu saja ada perbedaan yang sangat mendasar, antara perjuangan ala media hiburan dengan perjuangan ala tentara ataupun laskar rakyat. Tujuan perjuangan dengan media hiburan ini lebih membidik pada mental masyarakat. Mental masyarakat juga perlu untuk dibebaskan dari penjajahan, dengan cara diberikan pencerahan.
Pencerahan tersebut berupa sosialisasi menggunakan media hiburan, yang sangat efektif kepada masyarakat dalam menyampaikan pesan-pesan revolusi (kemerdekaan). Media hiburan dengan memanfaatkan keluwesannya, mampu menjangkau masyarakat hingga pada lingkup yang terkecil, desa.
Pokok pembahasan dalam makalah ini adalah, media hiburan apa saja yang berkontribusi dan bagaimana bentuk-bentuk kontribusi yang diberikan media-media hiburan tersebut terhadap revolusi 1945-1949 di Yogyakarta

Kerangka Konsep
Salah satu unsur dalam media hiburan adalah kesenian. Kesenian ini memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat. seperti yang dikatakan oleh Timbul Haryono, kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kesenian merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa keindahan.[2] Lebih lanjut, seni juga dapat dikatakan kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia.[3] Hal ini diperkuat dengan pernyataan Koentjaraningrat, bahwa pengindraan perasaan seseorang dapat diwujudkan dalam berbagai saluran, seperti: seni rupa, seni bangun, seni musik, seni tari, seni drama, seni sastra dan lain sebagainya.[4]
Seni memiliki sifat-sifat dasar umum yang dapat dijumpai dimanapun, yakni: 1) mempunyai arti yang bermakna budaya, seperi misalnya menjadi sarana hubungan dengan kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi dan pendidikan, 2) Memeperlihatkan gaya, yaitu gaya dipandang sebagai tradisi milik bersama dalam suatu kebudayaan dan sebagai tanda agar seni dapat menyampaikan arti, 3) memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya seni sehingga seseorang seniman dapat dibedakan dengan orang biasa.[5]
Namun realitas di masyarakat, terdapat bentuk-bentuk lain yang bisa dilakukan oleh seni. Artinya pelaku seni melakukan inovasi terhadap kesenian yang didasarkan pada kebutuhannya (pekerja seni) ataupun kebutuhan masyarakat. dalam lingkup yang lebih luas, kesenian juga memasuki ranah politik.
Dalam konteks media hiburan (termasuk kesenian) pada masa revolusi di Yogyakarta, ternyata memiliki fungsi yang lain daripada sekedar memberikan pemahaman kepada masyarakat akan makana-manka revolusi, namun memberikan sumbangan materi untuk dana perjuangan para laskar-laskar rakyat maupun para tentara. Sumbangan ini tentu sangat berguna, mengingat para laskar-laskar dan tentara tersebut berjuang ditengah keterbatasan-keterbatasannya.

Kerangka teori
Dominasi Barat beserta perubahan sosial yang mengikutinya menciptakan kondisi-kondisi yang penuh kecenderungan bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial.[6] Sebagai aktifitas kolektif, pergerakan sosial bertujuan hendak mewujudkan atau sebaliknya, menolak suatu perubahan dari susunan masyarakat, dimana seringkali dengan jalan yang radikal dan revolusioner.[7]
Gerakan yang dalam konteks makalah ini, bukanlah gerakan-gerakan sosial yang radikal dan revolusioner seperti yang disebutkan diatas, namun lebih pada gerakan para para pelaku media hiburan, dengan mengubah meda hiburan agar memiliki sumbangan yang nyata dalam revolusi. Dalam gerakan sosial ini, kita bisa melihat bagaimana kecerdikan dari para pelaku media hiburan untuk melakukan perubahan-perubahan yang tepat sesuai dengan tuntujan jamannya.
Yang tidak kalah penting, adalah media hiburan itu sendiri. Sifatnya cenderung mudah diterima oleh masyarakat, membuat media hiburan ini mudah dalam memainkan keluwesannya, tanpa kehilangan fungsi dasarnya sebagai media penghibur. Seperti yang dikatakan Malinowski, bahwa terbentuknya kebudayaan, termasuk kebudayaan baru, adalah karena manusia dihadapi persoalan yang meminta pemecahan serta penyelesaiannya.[8]
Dalam konteks ini, media hiburan mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada (revolusi), dengan melakukan beberapa perubahan-perubahan, baik dari segi substansi (isi dari media hiburan) maupun dari segi tujuan secara langsung.

Sekilas Kisah Yogyakarta sebagai Panggung Peperangan
Masa revolusi fisik yang terjadi tahun 1945-1949, hampir diseluruh kota-kota di Indonesia hingga pedesaan, rakyatnya melakukan gerakan mengangkat senjata untuk mengusir Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia pasca menyerahnya Jepang terhadap sekutu. Kota-kota yang bergejolak antara lain, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, hingga Yogyakarta.
Disini, Yogyakarta memiliki posisi yang penting dibandingkan dengan daerah yang lain. Hal ini disebabkan adanya keputusan dari rapat kabinet pada tanggal 3 Januari 1946, yang isinya memindahkan kekuasaan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta pada karena keadaan di Jakarta semakin mengkhawatirkan[9].
Meski demikian, Yogyakarta tetap saja dapat ditakhlukkan oleh Belanda dan sekaligus menangkap para pemimpin tinggi negara, seperti Soekarno dan M. Hatta. Bersamaan dengan tertangkapnya para pemimpin tinggi negara tersebut, tentara (dan juga laskar rakyat tentu saja), menyingkir dari kota menuju pedesaan, untuk menyusun strategi serta melancarkan perang gerilya.
Meskipun sedang dalam masa peperangan, tampaknya suasana di dalam kota Yogyakarta sendiri cukup masih bisa digunakan untuk menyelenggarakan pertunjukan hiburan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya acara-acara hiburan yang digelar di berbagai tempat di Yogyakarta, mulai dari tempat yang tertutup hingga tempat yang terbuka. Bahkan acara hiburan tersebuit kebanyakan dimulai pada malam hari.
Pada tempat tertutup, dapat ditemukan beberapa pertunjukan hiburan yang digelar di gedung. Sementara itu di tempat terbuka, banyak sekali acara hiburan yang diadakan di alun-alun utara kota Yogyakarta. Pada masa ini, gedung bioskop tetap beroperasi dengan film Barat-nya.

Media Hiburan di Yogyakarta pada Masa Revolusi
Yogyakarta pada kurun waktu tahun 1945-1949, berada dalam kondisi yang relatif tidak kondusif keamanannya akibat dari konflik bersenjata antara Indonesia dengan Belanda. Meskipun demikian, kegiatan hiburan dikota ini tetap berlangsung semarak.
Teater dan seni pertunjukan misalanya, tetap melakukan pertunjukan di kota-kota yang dikuasai Belanda. Di kota yang diduduki republik pun, kegiatan yang bersifat hiburan juga berjalan. Sementara di daerah pedesaan yang merupakan basis perlawanan rakyat melawan Belanda, kegiatan teater juga berjalan dalam jalur rakyat total.[10] Film-film di bioskop juga banyak yang diputar.
Pada dasarnya, Tujuan dari media hiburan tersebut ini sebagai penghibur masyarakat ditengah-tengah peperangan. Namun dalam masa revolusi ini, media hiburan memiliki fungsi yang berlipat-lipat. Semuanya bermuara pada dukungan terhadap revolusi fisik. Dilakukan inovasi agar media hiburan juga dapat dijadikan sebagai alat perjuangan. Seperti yang dikatakan Malinowski, bahwa terbentuknya kebudayaan, termasuk kebudayaan baru, adalah karena manusia dihadapi persoalan yang meminta pemecahan serta penyelesaiannya.[11]
Inovasi inilah yang mungkin disebut sebagai kebudayaan baru yang diciptakan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada dalam pergerakan nasional. Misalnya saja permasalahan sosialisasi terhadap masyarakat luas mengenai tujuan pergerakan nasional, membangkitkan rasa nasionalisme, bahkan tujuan untuk mendapatkan dana peperangan.
Misalnya saja didunia teater, dimana selama revolusi sangat bergairah guna menumbuhkan kesadaran akan kesatuan nasional dengan jiwa patriotiknya.[12] Disini yang mereka tekankan adalah cerita yang dibawakan dalam pertunjukan teater. Makna yang disampaikan diharapkan mampu ditangkap oleh para penonton. Hal ini sangat efektif sebagai jembatan untuk menumbuhkan jiwa patriotisme masyarakat desa.
Tujuan lain dari media hiburan adalah memberikan sumbangan material kepada laskar rakyat yang sedang berperang melawan Belanda. Dalam konteks ini, media hiburan ditampilkan dengan format, seni pertunjukan yang diadakan di dalam ruang tertutup, sehingga bagi yang ingin melihatnya harus membayar sejumlah uang sesuai dengan tarif karcis. Harga karcisnya pun berbeda-beda, disesuaikan dengan kelas-kelasnya.[13]
Hasil dari penjualan karcis ini disumbangkan kepada laskar rakyat. Besarannya pun bervariasi. Ada yang seluruh hasil penjualan karcis begitu saja disumbangkan, ada juga yang hanya beberapa persen dari total penjualan karcis. Banyak sekali jenis media hiburan melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan seperti disebutkan diatas, diantaranya seni musik, drama, film, hingga olah raga.

Bentuk-Bentuk Media Hiburan
  1. Seni Musik
Bukan hal baru jika musik dikaitkan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita pasti ingat sosok W.R Supratman, dengan lagu Indonesia Raya ciptaannya yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme pemuda. Selain itu, ada juga sosok Ismail Marzuki yang juga dengan konsisten menggunakan musik sebagai media perjuangan.[14] Ciptaan lagu-lagu yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme  para pemuda, merupakan jurus andalan dari kedua maestro musik tersebut.
Di Yogyakarta, tampaknya musik juga mengambil peran dalam revolusi tahun 1945-1949. Tampilnya seni musik dalam konteks ini adalah karena sifatnya yang relatif bisa diterima oleh semua kalangan, dari masyarakat golongan bawah hingga masyarakat golongan bangsawan. Pertunjukan musik biasanya digelar di tempat-tempat tertutup, seperti gedung atau hotel. Hal ini dikarenakan pertujukan ini memiliki sifat komersil. Misalnya saja pertunjukan musik Malam Seni Suara (Soiree Musical) pada tanggal 1 dan 2 Juni 1946, yang bertempat di Gedoeng “Rex” Toegoe.[15] Acara ini diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Kebudayaan Bagian Seni Suara Tugu.[16]
Musik yang dipertontonkan merupakan jenis musik modern. Alat musik yang dimainkan antara lain piano, biola, serta vokal. Dalam pertunjukan tersebut akan menampilkan musisi-musisi terbaik yang namanya sudah tersohor. Hanya saja, dalam iklan ini tidak disebutkan nama-nama dari para musisi-musisi yang akan mengisi acara.[17]
Dengan slogan ‘Menikmati Kesenian Sambil Beramal’, pihak penyelenggara berusaha untuk menarik perhatian penikmat seni untuk menghadiri pertunjukan. Karena sebagian dari hasil penjualan tiket pertunjukan ini akan disumbangkan kepada para laskar rakyat yang sedang berjuang mengahadap Belanda. Dalam iklan tersebut dikatakan bahwa tiket dapat didapatkan di Hotel Merdeka, Restaurant Nagoer, Dj Soembing 5, dan Setjodiningratan 30.
Selain itu, musik kroncong juga juga melakukan hal yang serupa. Dengan judul Krontjong Malam, Barisan Banteng Republik Indonesia, mengadakan pertunjukan kroncong amal.[18] Pertunjukan tersebut diadakan selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 8, 9, dan 10 April 1946 yang bertempat di gedung Indra.
Dikatakan dalam iklan tersebut, para rombongan pemusik menjanjikan penampilan yang lebih hebat daripada penampilan yang sudah-sudah. Untuk menarik pengunjung, pihak panitia menyediakan 10 macam hadiah yang akan diundi pada malam terakhir pertunjukan.
Acara tersebut mengambil slogan ’Gempar!!! Gentar!!! Beramal!!!’ tersebut diramaikan oleh bintang tamu-bintang tamu yang terkenal, seperti Sri Moelat dan Koentjoeng, Asmara, Soeginah, Kamsirah, dan Samsidi (pendatang lama). Selain itu ada juga bintang tamu yang didatangkan dari luar kota, seperti Nji Atimah Kartini dari Pati, Mirwani dan Soeminto.
Tiket disediakan dalam dua kelas. Tiket kelas 1 seharga f 20,- sedangkan tiket kelas dua dijual dengan harga yang lebih murah, f 10,-. Tiket tersebut dapat didapatkan di Markas Gaboengan Setjodiningratan. Seluruh hasil penjualan tiket ini, disumbangkan untuk perjuangan Barisan Banteng Republik Indonesia.

  1. Seni Pertunjukan (Sandiwara)

Media hiburan yang banyak melakukan pertunjukan di Yogyakarta pada masa revolusi ini adalah seni pertunjukan, seperti drama ataupun teater. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya iklan-iklan yang memenuhi halaman iklan koran-koran lokal Yogyakarta, yang menginformasikan mengenai pertunjukan-pertunjukan yang akan dipentaskan.[19]
Tidak aneh jika memang demikian, karena Yogyakarta memang memiliki tradisi yang panjang terhadap media hiburan seperti ini. Semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat umum, bangsawan, maupun laskar perjuangan, berusaha untuk membantu perjuangan melalui media seni pertunjukan ini.
Cerita yang diangkat dalam drama ini pun juga senada dengan kondisi sosial dan politik pada masa tersebut. Seperti sandiwara yang berjudul Dibelakang Kedok Djelita karya Sri Moertono,[20] yakni kisah perjuangan yang dibalut dalam sebuah kisah percintaan yang penuh dengan tipu daya, muslihat dan pengkhianatan.
Diungkapkan dalam iklan tersebut, sandiwara ini bercerita mengenai mata-mata dimasa revolusi. Terjadi pertempuran yang hebat antara tentara pemberontak (laskar rakyat) melawan mata-mata musuh, yang merupakan tangan kanan vd. Plas, yang memiliki senjata senyuman bibir bermadu. Seorang pemberontak melawan kekasihnya yang menjadi mata-mata Nica.
Pertunjukan sandiwara karya Sri Moertono diprakarsai oleh B.B.I Yogyakarta ini, dimainkan selama tiga hari berturut-turut, mulai pada tanggal 9, 10, dan 11 April 1946. Sedangkan tempatnya adalah di Soboharsono, alun-alun utara yang dimulai pukul delapan malam. Karcis disediakan dalam empat macam kelas. Tiket kelas istimewa dijual seharga f 15,-, tiket kelas I seharga f 10,-, tiket kelas II f 5,- dan tiket kelas III f 2,-. Karcis dapat didapatkan di kantor B.B.I – sayap Kiri Tugu 2 – Asrama Laskar Buruh Gondomanan. Hasil penjualan tiket akan diserahkan pada Pemogokan di Jakarta, pembangunan kota Ambarawa, barisan “P”, I.P.I., dan Buruh.[21]
Pada tanggal 21 dan 22 Juni 1946, giliran Pesindo[22] ranting Pakualaman yang mengadakan pertunjukan sandiwara amal, yang acaranya digelar di Soboharsono, alun-alun utara.[23] Dalam kesempatan ini judul cerita yang diambil adalah Boenga Indonesia. Selama pertunjukan, diiringi oleh orkesta Badpersi serta penyayi terkenal seperti Soerono. Karcis disediakan dalam empat macam kelas. Tiket kelas I dijual seharga f 10,-, tiket kelas II seharga f 7,5,-, tiket kelas III f 5,- dan tiket kelas IV f 2. Hasil penjualan karcis akan disumbangkan bagi perjuangan.

  1. Film
Pada masa pendudukan Jepang, ada peraturan yang melarang diputarnya film-film barat di gedung bioskop. Satu-satunya film yang boleh diputar adalah film yang memililki kepentingan langsung dengan Jepang, seperti untuk kepentingan propaganda. Hal ini tentu sangat mengurangi tontonan film yang sangat menarik, karena film-film dari barat (Amerika) merupakan film yang sangat bagus dan begitu digemari.
Meskipun dalam masa revolusi, bukan berarti segala sesuatu yang kebarat-baratan dilarang beredar di Yogyakarta. Dilihat dari sudut pandang perfilman, dalam kurun waktu revolusi ini banyak sekali bioskop-bioskop yang memutarkan film-film barat. Tidak diketahui siapa pemilik dari bioskop-bioskop yang memutar film-film asing tersebut. Namun yang jelas, hasil dari penjualan tiketnya disumbangkan pada beberapa lembaga perjuangan di Yogyakarta.
Misalnya film berjudul Charlie Chan In The City In Darknes yang diputar di Gedung Bioskop Tandjung. Tiket disediakan dalam dua kelas. Kelas I seharga f 15,-, dan kelas II seharga f 10,-. Total hasil penjualan tiket bioskop ini akan disumbangkan pada beberapa lembaga perjuangan. Sebanyak 50% disumbangkan untuk GPPI bagian usaha, sebanyak 25% untuk Panitia Kesehatan Kota, dan 25 % untuk Pandoe Rakyat.[24]
Film asing lainnya adalah Murder In New York. Dilihat dari judulnya tampaknya film ini berasal dari Amerika. Sama seperti film sebelumnya, film ini diputar di gedung bioskop Tandjung, dengan format amal. Tiket hasil penjualan akan diberikan kepada Laskar Rakyat 12 Kemantren Kota Yogyakarta.[25]
Film lainnya adalah berjudul Gone With The Wind, yang diputar di gedung bioskop Indra pada tanggal 2 Mei 1946.[26] Tampaknya film ini merupakan favorit dibandingkan dengan film-film asing yang lain. Ini dapat dilihat dari harga tiketnya yang lebih mahal dibandingkan dengan tiket film-film yang lainnya. Untuk bisa menyaksikan film ini, tiket kelas I dihargai sebsar f 25,- dan kelas dua dihargai sebesar f 15,-. Meski harga yang dipatok lebih mahal, tapi sifat dari pemutaran film ini adalah amal. Untuk menarik minat penonton, pihak penyelenggara menyediakan hadiah-hadiah berupa pakaian untuk laki-laki maupun perempuan.

  1. Olah Raga
Geliat Masyarakat Yogyakarta dalam membantu revolusi sangat luar biasa. Bukan melalui perjuangan mengangkat senjata, melainkan melalui jalur-jalur yang sesuai kompetensi mereka. Diatas telah dipaparkan perjuangan masyarakat melalui jalur seni dan film. Tapi ternyata perjuangan masyarakat tidak terbatas pada hal tersebut. Olahraga pun (terutama sepak bola) ternyata juga menjadi saluran masyarakat untuk berjuang.
Dengan tajuk Pertandingan Sepak Bola Besar Oentoek Amal, diadakan pertandingan amal yang melibatkan klub-klub lokal seperti PSIM Yogyakarta, PS Klaten, dan Persis yang bertempat di stadion Kridosono.[27] Pertandingan dilaksanakan antara tanggal 3 Mei hingga 5 Mei 1946. Karena bertajuk pertandingan amal, hasil dari penjualan tiketnya akan disumbangkan, yakni sebanyak 10 % untuk BPRI pusat, 10% divisi laskar rakyat, 20% untuk pemogokan di Tanjung Priok, 20% untuk PSIM, dan sebanyak 40% untuk Laskar Buruh Djawatan Gondolajoe No.9.
Selain dengan klub lokal, pertandingan amal sepak bola juga melibatkan klub-klub dari luar daerah.  Pada tanggal 24 sampai 29 Juni 1946 bertempat di stadion Kridosono akan dilangsungkan pertandingan antara PSIM Yigyakarta, Chung Hua Tsung Hui Mataram (CHTH).[28] Pendapatan tiket dari pertandingan ini digunakan untuk menyokong laskar rakyat yang sedang bertempur mempertahankan daerah Jawa Barat Pusat Karawang. Hal ini berarti, perjuangan revolusi sifatnya telah melampaui sekat-sekat wilayah dan etnis.

Penutup
Kebebasan berkesenian yang diberikan pada masa pendudukan Jepang, tampaknya menjadi salah satu pemicu perkembangan seni tersebut. Meskipun pada saat itu kesenian digunakan sebagai alat propaganda saja, namun para pekerja seni berserta keseniannya mampu bertahan dan mempertahakan kelangsungan seni tersebut. Bahkan ada yang menyebutkan, bahwa pada masa pendudukan Jepang sebagai “musim semi sandiwara”.[29]
Banyaknya pertunjukan kesenian keliling memiliki pengaruh terhadap citra dari kesenian tersebut. Selera dan pemahaman terhadap kesenian menyebar kepada masyarakat melalui pertunjukan-pertunjukan keliling ini. Tidak sedikit para pelajar memasuki dunia kesenian. Mereka memandang bahwa kesenian merupakan panggilan hidup dan status sosialnya tidak kalah dibandingkan menjadi pegawai negeri.[30]
Tumbuh kembang media hiburan (kesenian dan olah raga) pada masa revolusi sangat luar biasa. Banyak sekali pertunjukan-pertunjukan hiburan yang diadakan di berbagai tempat. Hal itu tentu saja tidak berjalan begitu saja. Melainkan ada sebuah proses intensif yang dilakukan oleh para pekerja media hiburan untuk mengembangkan media hiburan tersebut ditengah masyarakat. Media-media hiburan tersebut mampu menjawab tantangan jaman dengan berkontribusi nyata dalam revolusi



DAFTAR PUSTAKA


Sumber Buku

C. Israr, Sejarah Kesenian Islam I, (Jakarta: PT Pembangunan, 1995)

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974)

Masjkuri dkk. (eds), Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982)

Nur Iswantara, Sri Murtono: Teater Tak Pernah Usai (Sebuah Biografi), (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004)

Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982)

Tashadi dkk, Peranan Desa dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 1945-1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992)

----------------,. Partisipasi Seniman dalam Perjuangan Kemerdekaan di Propinsi Jawa Timur: Studi Kasus Kota Surabaya Tahun 1945-1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999)

Teguh Esha dkk. (eds), Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air dan Cinta, (Jakarta: LP3ES, 2005)


Sumber Koran dan Makalah

Harian Kedaulatan Rakyat
30 April 1946, 21 Juni 1946, 19 Juni 1946, 6 April 1946, 25 Juni 1946, 18 Juni 1946.

Sartono Kartodirdjo, Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia: Pidato Dies Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19 September 1967 di Sitihinggil Yogyakarta.

Timbul Haryono, Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi, yang dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.




[1] Baca Partisipasi Seniman dalam Perjuangan Kemerdekaan di Propinsi Jawa Timur: Studi Kasus Kota Surabaya Tahun 1945-1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999). Buku ini mengisahkan mengenai perjuangan para seniman dengan karya-karyanya yang mampu memberikan kontribusi nyata dalam perjuangan, mulai dari memberikan sosialisasi hingga membangkitkan semangat nasionalisme dan membangkitkan militansi dalam mengahadapi tentara Belanda, di lingkup Surabaya.
            [2] C. Israr, Sejarah Kesenian Islam I, (Jakarta: PT Pembangunan, 1995), hlm 2.

[3] Dikutip Timbul Haryono dari Langer, dalam papper berjudul Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi, yang dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.

[4]  Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974), hlm. 107-109.

[5] Dikutip Timbul Haryono dari Richard L. Anderson dan Sedyawati, papper berjudul Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi, yang dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembanunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.
[6] Sartono Kartodirdjo, Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia: Pidato Dies Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19 September 1967 di Sitihinggil Yogyakarta, hlm. 40.

[7] Sartono Kartodirdjo, Ibid, hlm. 38.
[8] Pendapat Malinowski yang dikutip oleh Nur Sahid: Pengaruh Modernisasi Terhadap Kehidupan Beberapa Pertunjukan Jawa Tradisional: Studi Tentang Perbedaan Kebudayaan, dalam Nur Sahid (ed), Interkulturalisme dalam Teater, (Yogyakarta: Tawang Press, 2000), hlm 4.
[9] Tashadi Dkk, Peranan Desa dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 1945-1949, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta; 1992, hlm. 20.
[10] Nur Iswantara, Sri Murtono: Teater tak Pernah Usai (Sebuah Biografi), (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004), hlm. 71.
[11] Pendapat Malinowski yang dikutip oleh Nur Sahid: Pengaruh Modernisasi Terhadap Kehidupan Beberapa Pertunjukan Jawa Tradisional: Studi Tentang Perbedaan Kebudayaan, dalam Nur Sahid (ed), Interkulturalisme dalam Teater, (Yogyakarta: Tawang Press, 2000), hlm 4.
[12] Ibid, hlm. 72.
[13] Lihat Iklan pada harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 1946.
[14] Mengenai Ismail Marzuki, lihat Teguh Esha dkk., Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air dan Cinta, (Jakarta: LP3ES, 2005). Pada kurun waktu 1930-142, Ismail Marzuki telah menjadikan musik sebagai alat perjuangan. Lagu-lagu ciptaannya begitu mengispirasi para pemuda dalam perjuangan. Pada periode 1945-1950, Ismail Marzuki tetap berjuang dengan musik dengan membentuk orkes Empat Sekawan, yang memiliki agenda tetap untuk mengisi acara lagu di RRI Jakarta.
[15] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 25 Juni 1946.
[16] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 1946
[17] Pada tanggal 22 dan 23 Juni, pertunjukan serupa juga akan dilakukan ditempat yang sama, yakni di Gedung Bioskop Tugu (Rex). Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 1946.
[18] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 6 April 1946. Lihat juga iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 4 April 1946.
[19] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat sepanjang tahun 1946, yang begitu banyak didominasi oleh berbagai media hiburan yang akan mengadakan pertunjukan.
[20] Lihat Iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 6 April 1946. Sri Moertono sendiri merupakan tokoh teter yang memiliki peranan sangat besar dalam revolusi melalui jalur perjuangan teater, di Yogyakarta. Mengenai Sri Moertono, dapat dilihat dalam Nur Iswantara, Sri Murtono: Teater tak Pernah Usai (Sebuah Biografi), (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2004)
[21] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 6 April 1946.
[22] Pesindo adalah singkatan dari Pemuda Sosialis Indonesia
[23] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 19 Juni 1946.
[24] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 1946.
[25] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 30 April 1946.
[26] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 30 April 1946
[27] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 30 April 1946
[28] Lihat iklan pada harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 1946
[29] Masjkuri Dkk. (eds), Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982), hlm. 273.
[30] Ibid.

Tidak ada komentar: