Asian Values (Nilai Asia) dalam
Penulisan Sejarah di
Asia Tenggara
oleh: Aulia Rahman
Menurut Linda Tuhiwai Smith, Penelitian
adalah soal memuaskan kebutuhan untuk mengetahui dan pengetahuan untuk
memperluas batas-batas pengetahuan yang ada melalui sebuah proses penyelidikan
sistematis. Rasionalitaas yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi Barat,
memungkinkan direproduksi dan diartikulasikannya pengetahuan dalam suatu cara
yang ilmiah dan superior.[1]
Asia Tenggara identik dengan negara-negara
bekas koloni bangsa-bangsa Eropa, karena hampir semua negara-negara di Asia Tenggara
pernah mengalami kolonialisme (kecuali Thailand). Melihat kenyataan tersebut,
ketika akan berbicara mengenai sejarah Asia Tenggra, maka yang muncul adalah sejarah
mengenai kolonialisme itu sendiri, yakni bagaimana bangsa kolonial berkuasa di
koloninya (Asia Tenggara) dan bagaimana perlakuan masyarakat kolonial terhadap penduduk
koloninya, baik secara fisik, mental, maupun dalam bentuk pencitraan masyarakat
kolonial itu sendiri (pribumi).
Melihat kecenderungan penulisan
sejarah Asia Tenggara oleh para ilmuwan Barat yang seperti itu, diperlukan
usaha untuk mengungkapkan bagaimana yang sebenarnya masuarakat Asia Tenggara
itu sendiri. Sejarawan Asia Tenggara diharapakan mampu mengungkapkan hal-hal
yang selama ini tidak dilirik samasekali olleh para ilmuwan Barat ketika
membicarakan masyarakat Asia Tenggara. Misalnya, mengenai bagaimana penduduk daerah
koloni (jajahan) bertahan dalam masa-masa kolonial tersebut, atau
ekonomi-ekonomi alternafif apa saja yang diusahakan masyarakat diluar dari
petanian mainstream yang marak pada masa culturstelse (di Indonesia). Namun
ternyata, apa yang diharapkan dari para sejarawan Asia Tenggara ini masih saja belum
mampu untuk mengungkapkan hal-hal yang
seperti ini. Hal ini tidak lain adalah akibat dari masih banyaknya sejarawan
Asia Tenggara dalam menuliskan sejarah Asia Tenggara masih terpaku dengan
penggunaan teks-teks, yang notabene adalah sumber yang dikeluarkan oleh
pemerintah kolonial.
Ini
adalah salah satu bentuk dari keterbatasan perspektif yang berakar pada ketidak
mampuan Historiografi (Indonesia) keluar dari kerangka pikir konvensional baik
secara teoritis maupun metodologis, dan sekaligus sebagai tanda bahwa terdapat
jarak pemisah yang lebar dengan penguasaan epistimologi dan metodologi. [2]
Akibatnya adalah sejarawan begitu terpaku dengan menggunakan sumber tertulis,
dalam arti sumber tertulis yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah dan
mengabaikan penggunaan sumber-sumber tidak tertulis yang jenisnya begitu
beragam. Terlebih lagi, para sejarawan begitu meremehkan kemampuan
sumber-sumber tidak tertulis tersebut dalam melakukan tugasnya sebagai media
pengungkap masa lalu, baik dalam peristiwa ataupun dalam mentalitas.[3]
Selain itu, usaha dari sejarawan Asia
Tenggara untuk membuat penulisan sejarah Asia Tenggara yang rasional dan
ilmiah, tentu saja akan menggunakan kaidah-kaidah maupun konsep-konsep Barat.
Jika hal ini digunakan, tentu saja akan mereduksi sejarah itu sendiri, terutama
sejarah mengenai masyarakat kolonial (pribumi). Hal ini tidak lepas dari adanya
konsep-konsep Barat yang lebih menempatkan Barat itu sendiri sebagai bangsa
yang superior serta menganggap yang lain bukan sebagai suatu elemen yang
penting. Ini adalah konsep yang oleh Robert Cribb sebagai cara untuk
mengidentifikasikan kelompok.[4]
Yakni bagaimana mengidentifikasi diri
sendiri (self) beserta kelompoknya, serta bagaimana
mengidentifikasi orang lain (other)
ataupun kelompok yang lain. Identifikasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi
kesamaan suatu kelompok, sekaligus untuk membedakan kelompok yang lainnya,
dimana tujuan akhirnya adalah adanya tindakan untuk memberikan perlakukan
kepada kelompok-kelompok tersebut, apakah akan diperlakukan dengan perlakukan
yang sama dan sederajat, atau hak akan diperlakukan dengan perlakukan yang
berbeda. Inilah yang digunakan oleh kololonial di koloninya dalam menempatkan
penduduk pribumi dan orang-orang asing lainnya.
Dalam kolonialisme, masyarakat pribumi
dikodekan ke dalam sistem pengetahuan Barat. Stuart Hall, seperti yang disitir
oleh Linda Tuwihai Smith, mengatakan bahwa hal tersebut menunjukkan Barat
sebagai sebuah ide atau konsep, sebuah bahasa untuk membayangkan kompleksnya
rangkaian cerita, ide, peristiwa sejarah dan hubungan sosial. Hall menandaskan
bahwa konsep tentang Barat berfungsi dalam cara yang (1) memungkinkan kita
mengkarakterisasi dan mengklasifikasi masyarakat kedalam berbagai kategori; (2)
memadatkan citra kompleks berbagai masyarakat lain melalui sistem representasi;
(3) Menyediakan sebuah model perbandingan standar; (4) menyediakan kriteria
evaluasi yang bisa memperingatkan masyarakat-masyarakat lain.[5]
Konsep Barat ini, secara disadari
ataupun tidak, telah mengakar kuat dalam ingatan maupun kebudayaan masyarakat
Asia Tenggara. Dengan adanya peng-konsep-an seperti ini, bagi masyarakat Asia
Tenggara ibarat sebuah penjara yang telah membatasi ruang gerak mereka (baik
citra mapun perilaku) dalam tradisi penulisan sejarah dan dalam kesehariannya. Akibatnya
dalam penulisan sejarah konsep-konsep Barat dalam memandang Asia Tenggra selalu
diterapkan. Secara berulang-ulang, mereka pada akhirnya mereka pun terus
menerapkan konsep-konsep Barat dalam Penulisan Mereka. Hasilnya, Eropa sebagai
bangsa kolonial masih saja mendapatkan posisi yang dominian, dan tetap
menempatkan masyarakat Asia Tenggara dalam posisi yang tidak mengutungkan.
Terdapat kritik dengan penulisan
sejarah dengan menggunakan konsep Barat ini. Beberapa orang telah memulai untuk
melakukan perubahan konsep Barat tersebut. Di Indonesia misalnya, penulisan
sejarah dengan menggunakan konsep Barat disebut dengan historiografi
kolonialsentris. Artinya penulisan sejarah dipandang dalam sudut pandang
kolonial. Dalam penulisan sejarah ini, yang menjadi aktor utama dalam sejarah
adalah orang-orang Barat yang sedang melakukan aktivitasnya di Hindia Belanda
(Indonesia). Segala hal yang berbau kebarat-baratan, mendapatkan porsi yang
dominan dalam penulisan sejarah dengan pendekatan kolonial ini. Sementara, penduduk
pribumi hanyalah ditempatkan daam posisi pelengkap keberadaan bangsa kolonial.
Ditempatkannya penduduk pribumi dalam posisi dan porsi yang seperti ini,
terlihat bahwa terdapat keberpihakan penulisan sejarah dengan menggunakan
konsep-konsep Barat.
Dengan menggunakan konsep Barat, masyarakat
di daerah koloni di klasifikasikan secara herarkhis dalam beberapa kelompok.
Sesuatu yang lazim, jika dalam pengelompokan tersebut Barat menempati posisi
puncak hierarki, dan penduduk pribumi menempati posisi yang paling bawah.
Sementara kelompok yang ditengah, konsep Barat memasukan unsur-unsur masyarakat
diluar masyarakat yang ada di puncak dan masyarakat pada posisi yang paling
bawah.
Dalam realitas keseharian,
pengelompokan masyarakat ini berimbas pada pengistimewaan kelompok pada satu
pihak dan penghambatan kelompok pada satu pihak. Pengistimewaan akan membawa
pada hal-hal yang sifatnya menguntungkan, dalam hal ini masyarakat yang berada
di puncak hierarkhi. sedangkan penghambatan akan mengabaikan hak pada kelompok
yang lain, dalam hal ini penduduk pribumi. Kelompok yang berada di tengah,
cenderung mendapatkan kemudahan, meskipun tidak sama persis dengan kelompok masyarakat yang ada pada puncak
hierarkhis.
Pengelompokan-pengelompokan seperti
ini, disadari atau tidak akan berpengaruh terhadap mentalitas masyarakat. Bagi masyarakat Barat, yang menempati puncak
hierarkhi, akan menyebabkan munculnya mental superior dan berkuasa. Hal ini
diperkuat dengan banyaknya hak-hak istimewa dalam mendapatkan perlakukan. sementara
bagi penduduk pribumi, mental-mental seperti itu tidak pernah muncul, yang ada
hanyalah mental-mental inferior, terjajah, dan lain sebagainya. Hal ini
berpengaruh juga terhadap citra dari masing-masing kelompok.
Segala hal yang berhubungan Barat,
dianggap sebagai sesuatu yang baik dan patut dijadikan contoh, serta bisa
digunakan sebagai alat penentu status sosial. Barat juga diidentikkan dengan cerdas,
kritis, ulet, rajin. Sementara penduduk pribumi dicitrakan sebagai masyarakat
yang bodoh, malahan, bisanya hanya mengikuti perintah, tidak memiliki inisaiatif,
dan lain sebagainya. Ini kemudian digunakan sebagai bahan komparasi antara
Barat dengan masyarakat pribumi.
Setelah sekian lama kolonialisasi
berlalu, konsep-konsep yang dibuat Barat mengenai daerah kolonianya, tampaknya
masih saja diabadikan, termasuk dalam hal klasifikasi masyarakat yang masih
saja menggnakan konsep klasifikasi yang diciptakan oleh bangsa kolonial. Hal ini dapat dilihat ketika para sejarawan
melakukan penulisan sejarah, khususnya pada masa kolonial. Di Indonesia
misalnya, ketika para sejarawan akan membicarakan masyarakat kolonial, yang
dijadikan patokan adalah sistem stratifikasi masyarakat yang dibuat oleh
Belanda. Jika penggunaan konsep tersebut dilakukan, maka hasilnya pun akan
tidak jauh dengan hal-hal yang di atas yang berkenaan dengan superioritas
masyarakat Eropa beserta dengan segala hak-hak istimewanya beserta citranya
yang baik, dan penduduk pribumi muncul dengan inferioritasnya yang selalu tidak
memiliki keuntungan dan keistimewaan beserta seluruh citra negatifnya.
Konsep-konsep Barat tersebut pada
umumnya digunakan oleh Barat untuk menuliskan sejarah kolonialnya di Asia Tenggara.
Hasilnya adalah superioritas Barat terhadap negara kolonianya. Jika para sejarawan
di Asia Tenggara masih saja menuliskan sejarah dengan menggunakan konsep-konsep
Barat ini, maka bisa dikatakan bahwa sejarawan yang melakukan penuisan sejarah
tersebut sama saja kepanjangan tangan dari Barat, karena hanya melanggengkan
konsep Barat dalam penulisan Sejarah Asia Tenggara.
Untuk keluar dari penjara konsep Barat
tersebut, para sejarawan Asia Tenggara seharusnya membuat konsep baru yang
menempatan penduduk pribumi sesuai dengan tempatnya. Hal tersebut didasari
bahwa masyarakat pribumi tidak sepenuhnya seperti apa yang dicitrakan oleh
konsep Barat. Bahkan, Barat pun sebenarnya tidak selalu seperti apa yang dicitrakannya.
Sampai pada tataran ini, sejarawan harus kritis terhadap hal-hal seperti ini. Dinamika
yang muncul pada masa kolonisasi Barat di Asia Tenggara sangat luar biasa, terlebih
bagi penduduk pribumi.
Kolonialisme dengan nilai-nilai
Baratnya telah merusak tatanan lokal, dan diganti dengan nilai-nilai, ide dan
budaya Barat. Hal ini tentu saja merusak
niai-nilai lokal. Pasca kolonialisme, Asia Tenggara mencoba untuk melepaskan
diri dari nilai-nial dan konsep-konsep Barat yang telah ditanamkan pada masa
kolonialisme, dengan memperkenalkan konsep Nilai Asia (Asian Value).
Nilai Asia ini sangat berbeda dengan nilai Barat. Nilai Asia lebih
mengedepankan etika, sopan santun, dan lebih menghargai budaya lokal. Sedangkan
nilai Barat sifatnya liberal, individualis, dan mengabaikan semua norma-norma
yang ada dalam Nilai Asia.
Ilmuwan Barat memandang sebelah mata
dengan adanya konsep Nilai Asia Ini, karena sejak dulu (jaman kolonisasi)
mereka telah memiliki konsep sendiri mengenai Asia Tenggara, yang hingga tetap bertahan meskipun era kolonisasi
tersebut telah usai. Menurut mereka, nilai-nilai Barat tetaplah lebih unggul
daripada Nilai Asia tersebut. Dengan mengakui adanya konsep Nilai Asia
tersebut, sama juga dengan mendudukkan Nilai Asia pada posisi yang sejajar
dengan Nilai Barat, serta memberikan peluang
bagi Asia Tenggara berkembang dengan identitasnya sendiri. Dengan demikian,
nilai-nilai Barat akan segera ditinggalkan, digantikan dengan Nilai Asia, dan sisa-sisa kolonialisme di Asia Tenggara
akan tak berbekas.
Secara geografis, Asia Tenggara
terdiri dari banyak sekali wilayah dengan bermacam-macam keanekaragaman budaya,
agama, ataupun kearifan lokal lainnya. Namun Barat melakukan reduksi dalam
memandang Asia Tenggara, dengan mengiidentikkan Nilai Asia dengan agama dan
kepercayaan tertentu, terutama Islam dan konfusianisme. Mereka mengganggap
Islam dan konfusianisme ini adalah nilai yang sangat dekat dengan kekerasan
dalam menyelesaikan masalah. Dengan banyaknya kejadian-kejadian seperti terorisme
(pemboman) yang melibatkan Islam, misalnya, tentu saja pandangan Barat ini
tidak bisa disalahkan.[6]
Namun seharusnya Barat juga bersikap obyektif dan tidak melakukan reduksi nilai-nilai
kelokalan ketika memandang Asia Tenggara sebagai sebuah kesatuan kawasan.
Selain itu, pandangan seperti Ini
tidak lain adalah sebuah bentuk ketakutan Barat terhadap Asia yang muncul
sebagai kekuatan baru pasca perang dingin yang berujungan para runtuhnya Uni
Soviet pada tahun 90- an. Kemudian Asia yang dicitrakan (secara sederhana
menjadi) Islam dan konfusianisme yang mana setelah kolonialisme berkembang
begitu dominan di Asia Tenggara, menjadi sesuatu hal yang patut diwaspadai. Menurut
pendukung nilai-nilai Barat, hal ini tentu tidak bisa dibiarkan saja, karena
akan menjadi saingan bahkan lawan dari nilai-nilai Barat. Beberapa ilmuwan yang
tidak sepakat dengan gagasan Nilai Asia, mencoba untuk membongkarnya dan mencari
celah-celah untuk melakukan ‘serangan’ nilai (budaya). Pertempuran nilai-nilai
ini, oleh Samuel Huntington disebut dengan Clash of Civilisation
(Benturan Perdaban). Hal tersebut sekaligus menandakan, bahwa pertempuran yang
terjadi pasca kolonialisme bukan lagi mengenai ideologi, melainkan pertempuran
kebudayaan.
Beberapa Sejarawan Eropa juga
sependapat dengan gagasan Nilai Asia, dengan mencoba untuk berbeda dengan
penulisan sejarah modern dalam melihat Asia Tenggara. Salah satunya dengan menggunakan
Fakta-fakta lokal, teks tradisional, serta mitos-mitos yang berkembang dimasyarakat
sebagai sumber penulisan sejarah. Hal ini tentu saja penting untuk mempelajari
dinamika-dinamika masyarakat pada tingkatan bawah, yang tidak terpantau oleh
catatan-catatan kolonial. Yang lebih penting, penulisan dengan menggunakan
sumber ini (mitos) adalah menulis sejarah Asia Tenggara dengan menggunakan sumber
asli Asia Tenggara,[7] dan
mengeluarkan citra masyarakat Asia Tenggara dari belenggu konsep Barat.
Lihat saja Geertz, James Siegel, Ben Anderson,
dan Shelly Errington, yang mencoba menangkap kembali kesadaran sejarah Asia
Tenggara yang berbeda dengan penulisan sejarah modern yang berkembang di Barat.[8] Selain
itu lihat juga M.C. Ricklefs dan Peter Boomgard yang begitu cerdik dalam menuliskan
masyarakat Asia Tenggara (Indonesia) dengan menggunakan konsep, pendekatan,
serta sumber-sumber lokal, baik sumber tertulis maupun sumber tutur (cerita/
lisan). Ricklefs menuliskan menganai asal-usul abangan di Jawa yang ternyata
sudah ada semenjak jaman kolonial.[9]
Sedangkan Boomgard menuliskan cerita mengenai mitos-mitos yang berkaitan dengan
mahkhluk ghaib (tuyul, Nyai Roro Kidul, Mentek, dan lain sebaginya) sebagai perantara
untuk mendatangkan kekayaan secara cepat. Dengan cerdik, mitos-mitos ini oleh
Boomgard digunakan untuk membaca mentalitas masyarakat pada saat mitos-mitos
itu berkembang, dan kemudian didapatkanlah kaitan yang erat antara berkembangnya
mitos-mitos tersebut dengan krisis ekonomi yang terjadi di Jawa.[10]
Apa yang dilakukan oleh mereka patut
diberi apresiasi yang luar biasa. Dengan demikian, pemahaman yang diberikan
gambaran yang menarik dan beragam mengenai Asia Tenggara, sekaligus akan
mengurangi (bahkan menghilangkan) pandangan-pandangan negatif Barat terhadap
Asia Tenggara.
[1] Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi
Metodologi, (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hlm. 277-278.
[2] Bambang Purwanto, Gagalnya
Historiografi Indonesiasentris?!, (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 56.
[3] Ibid, hlm. 56.
[4] Robert Cribb dalam presentasi “Kemerdekaan
dan Perubahan Jati Diri: Post-colonial Indonesia Identity”, Yogyakareta 14
Januari 2010.
[5] Linda Tuhiwai Smith, Ibid,
hlm. 46.
[6] Osamah Bin laden seorang pimpinan
Al-Qaeda, yang diduga menjadi otak pengeboman gedung World Trade Center (WTC)
Amerika Sekrikat; Imam Samudra dan Amrozi yang menjadi dalang bom Bali I dan
II; Nurdin M. Top yang menjadi peracik
Bom dalam beberapa peristiwa ledakan di Indonesia;, dimana mereka semua
‘berjuang’ dengan mengatasnamakan Islam.
[7] Lebih dikenal dengan penulisan
sejarah dari dalam.
[8] T.N. Harper, Asian Values and
Southeast Asian Histories, dalam The History journal, 40, 2 (1997), pp.
507-517, hlm. 511.
[9] M.C. Rickles, The Birth of Abangan
[10] Peter Boomgard, Illicit Riches:
Economic development dan changing atitudes toward money and wealth as reflected
in Javanese Popular Beher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar