Mungkinkan
Sebuah Kebenaran
dalam
Penulisan Sejarah?
oleh Aulia Rahman
Dalam bab pertama buku The Logic of History:
Putting Posmodernism in Perspective karangan C. Behan McCullagh ini
berjudul The Possibility of Historical Knowladge yang jika di-indonesiakan
berarti “Kemungkinan dalam Pengetahuan Sejarah”. yang dipertanyakan dalam
awal tulisan pada bab ini adalah posisi dari sebuah “kebenaran sejarah”.
Berbicara mengenai sebuah “kemungkinan” dan “kebenaran”,
seperti membincangkan dua kutub yang berbeda. Karena memang secara ideal, mereka
tidak akan pernah bertemu. Kenapa demikian? “Kebenaran” sifatnya obyektif,
dimana sesuatu yang sudah diyakini kebenarannya melalui sebuah penelitian
ilmiah. Sementara berbicara “kemungkinan”, terdapat banyak kemungkinan (lebih
dari satu kemungkinan) mengenai sesuatu hal, termasuk kebenaran. Apalagi jika
terdapat unsur subyektifitas, dimana hal tersebut akan menambah panjang daftar “kemungkinan”.
Kemudian jika dikaitkan dalam konteks penulisan
sejarah, kebenaran tampaknya sesuatu hal yang hanya terjadi satu kali, yakni
ketika peristiwa sejarah berlangsung. itulah satu-satunya kebenaran yang
obyektif. Kemudian setelah kejadian itu terjadi, kebenaran dari peristiwa
tersebut menjadi bias. Yang dapat diusahakan dalam sebuah rekonstruksi
peristiwa adalah mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada masa lalu.
meskipun demikian, terdapat beberapa usaha yang dilakukan para ahli filsafat
sejarah, untuk mempertemukan antara “kemungkinan” dan “kebenaran”, agar
mendapatkan “kemungkinan” yang sedekat mungkin dengan “kebenaran”.
Antara Behan McCullagh dan Ankersmits
Behan McCullagh dengan pendekatan Postmodern-nya,
mencoba untuk menjawab permasalahan “kebenaran” dan “kemungkinan”, dengan teori
Naïve Empirism[1]
atau Empirisme yang tidak dibuat buat. yang ditekankan dalam Naïve Empirism
ini adalah soal “rasa dari indra” dari sejarawan dalam memandang sesuatu.
Artinya, sejarawan melakukan deskripsi dengan apa adanya, berdasarkan
pengalaman panca indra kita dengan sumber dari fakta-fakta yang tersedia.
Namun tampaknya, Behan McCullagh tidak yakin
dengan teori Naïve Empirism, dalam mengungkap sebuah kebenaran. Kemudian
dia melakukan kritik terhadap teori tesebut. salah satu kritiknya, deskripsi
mengenai masa lalu terstruktur menurut konsep yang dibawa oleh sejarawan, yang
kemudian hal tersebut digunakan untuk membangun pandangan sejarawan, yang
sebenarnya hal tersebut tregantung dari latar belakang budayanya[2].
selain itu ada kencerungan bagi sejarawan untuk melebih-lebihkan pada suatu hal
yang menjadi ketertarikannya dan mengabaikan sesuatu yang tidak disenanginya.
Konsep yang ditawarkan oleh Behan McCullagh
sangat bertentangan dengan prinsip “tanpa kemarahan dan rasa berat sebelah”,
seperti yang diungkapkan Remmelink,
sebagai Sine Ira et Studio[3].
Dalam konteks ini, sejarawan harus menempatkan sesuatu pada tempatnya
masing-masing dan sesuai dengan porsinya masing-masing, dan mengabarkan sesuatu
dengan apa adanya tanpa ada rasa melebih-lebihkan sesuatu (meluap-luap, seperti
ciri khas historiografi indonesiasentris), dan tanpa ada usagha untuk
mengurangi makna (mereduksi) sesuatu hal.
Untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya,
seharusnya pendapat dari Behan McCullagh tersebut dikombinasikan dengan
teori-teori tentang kebenaran dari ahli sejarah atau ahli filsafat sejarah yang
lainnya. Misalnya dengan menggunakan teorinya Ankersmits.
Terdapat 4 teori kebenaran menurut F.R.
Ankersmith[4].
Pertama teori tindak bahasa, yang mengatakan bahwa kebenaran adalah tidak ada
perbedaan antara suatu pernyataan mengenai sesuatu (P) dengan pernyataan
lainnya mengenai (P). Kedua adalah teori pragmatis. menurut teori ini, sebuah
ucapan benar bila ucapan itu terbukti merupakan pedoman yang dapat diandalkan. Ketiga,
teori korespondensi, diamana untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan
itu benar, bila terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang diucapkan
di dalam kenyatan (historis). Keempat teori koherensi, suatu ucapan
benar, bilamana ucapan tersebut ada kaitan (koheren) dengan sejumlah ucapan
yang kebenarannya sudah diterima.
Jika teori dari Behan McCullagh lebih dengan
menonjolkan panca indra sejarawan, maka teori yang dikemukakan oleh Ankersmit lebih
banyak kearah teknis dalam pecarian fakta-fakta kebenaran. Artinya, teori
tersebut tetap saja mengandung sebuah pertanyaan besar jika kembali
dipertanyakan sebuah kebenaran dalam sebuah penulisan sejarah. Karena kemudian
yang muncul adalah beberapa kemungkinan mengenai peristiwa tersebut. teori
tersebut hanyalah berusaha melakukan kroschek dan mensinkronkan antara
fakta yang satu dengan fakta yang lain. Tujuannya adalah sedapat mungkin
mengurangi subyektifitas dari sejarawan. namun setidaknya teori yang
dikemukakan Ankersmit ini sedikit banyak telah mengikis rasa skeptisme
(ragu-ragu) yang muncul manakala terdapat sebuah rekonstruksi terhadap sebuah
peristiwa.
Otoritas Sejarawan dan Penulisan Sejarah yang “Benar”
Seorang sejarawan memiliki otoritas dalam
segala hal, yang berkenaan dengan penulisan sejarah, mulai dari pemilihan tema,
pemaknaan, penggunaan metode dan metodologi, hingga ke dalam teknis
penulisannya. Namun, dibalik otoritasnya tersebut, seorang sejarawan harusnya berusaha
untuk melakukan hal yang terbaik terkait dengan penulisan sejarahnya. Penulisan
sejarah dengan menggunakan metode yang tepat. akan mampu menghadirkan kembali
peristiwa masa lalu dalam bentuk tulisan dengan sebuah makna yang tepat (sesuai
dengan makna ketika peristiwa tersebut terjadi).
Oleh karena itu, akan lebih lengkap lagi
sebenarnya, jika teori tentang “kebenaran sejarah” dari kedua sejarawan diatas
ditambahi dengan pendekatan sejarahnya Collingwood, yang mengatakan metode yang
tepat dalam mempelajari sejarah adalah dengan mamasuki alam pikiran dan
perasaan dari aktor sejarah.
[1] C.
Behan McCullagh, The Logic of History: Putting Posmodernism in Perspective, Routledge
Taylor & Fancis Group, London and New York, hlm. 6.
[2] Ibid,
hlm 6.
[3] W.G.J
Remmelink, Sine Ita et Studio Tanpa Kemarahan dan Berat Sebelah, dalam Nina
Lubis (ed), 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo: Pelopor Sejarah
Indonesia, MSI cab. Jawa Barat &Satya Historika, 2001, hlm 30.
[4] F.R
Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm 111-113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar