Rabu, 17 Juli 2013

Tentang Kebenaran dalam Sejarah

Mungkinkan Sebuah Kebenaran
dalam Penulisan Sejarah?
oleh Aulia Rahman



Dalam bab pertama buku The Logic of History: Putting Posmodernism in Perspective karangan C. Behan McCullagh ini berjudul The Possibility of Historical Knowladge yang jika di-indonesiakan berarti “Kemungkinan dalam Pengetahuan Sejarah”. yang dipertanyakan dalam awal tulisan pada bab ini adalah posisi dari sebuah “kebenaran sejarah”.
Berbicara mengenai sebuah “kemungkinan” dan “kebenaran”, seperti membincangkan dua kutub yang berbeda. Karena memang secara ideal, mereka tidak akan pernah bertemu. Kenapa demikian? “Kebenaran” sifatnya obyektif, dimana sesuatu yang sudah diyakini kebenarannya melalui sebuah penelitian ilmiah. Sementara berbicara “kemungkinan”, terdapat banyak kemungkinan (lebih dari satu kemungkinan) mengenai sesuatu hal, termasuk kebenaran. Apalagi jika terdapat unsur subyektifitas, dimana hal tersebut akan menambah panjang daftar “kemungkinan”.
Kemudian jika dikaitkan dalam konteks penulisan sejarah, kebenaran tampaknya sesuatu hal yang hanya terjadi satu kali, yakni ketika peristiwa sejarah berlangsung. itulah satu-satunya kebenaran yang obyektif. Kemudian setelah kejadian itu terjadi, kebenaran dari peristiwa tersebut menjadi bias. Yang dapat diusahakan dalam sebuah rekonstruksi peristiwa adalah mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada masa lalu. meskipun demikian, terdapat beberapa usaha yang dilakukan para ahli filsafat sejarah, untuk mempertemukan antara “kemungkinan” dan “kebenaran”, agar mendapatkan “kemungkinan” yang sedekat mungkin dengan “kebenaran”.

Antara Behan McCullagh dan Ankersmits

Behan McCullagh dengan pendekatan Postmodern-nya, mencoba untuk menjawab permasalahan “kebenaran” dan “kemungkinan”, dengan teori Naïve Empirism[1] atau Empirisme yang tidak dibuat buat. yang ditekankan dalam Naïve Empirism ini adalah soal “rasa dari indra” dari sejarawan dalam memandang sesuatu. Artinya, sejarawan melakukan deskripsi dengan apa adanya, berdasarkan pengalaman panca indra kita dengan sumber dari fakta-fakta yang tersedia.
Namun tampaknya, Behan McCullagh tidak yakin dengan teori Naïve Empirism, dalam mengungkap sebuah kebenaran. Kemudian dia melakukan kritik terhadap teori tesebut. salah satu kritiknya, deskripsi mengenai masa lalu terstruktur menurut konsep yang dibawa oleh sejarawan, yang kemudian hal tersebut digunakan untuk membangun pandangan sejarawan, yang sebenarnya hal tersebut tregantung dari latar belakang budayanya[2]. selain itu ada kencerungan bagi sejarawan untuk melebih-lebihkan pada suatu hal yang menjadi ketertarikannya dan mengabaikan sesuatu yang tidak disenanginya.
Konsep yang ditawarkan oleh Behan McCullagh sangat bertentangan dengan prinsip “tanpa kemarahan dan rasa berat sebelah”, seperti yang diungkapkan Remmelink,  sebagai Sine Ira et Studio[3]. Dalam konteks ini, sejarawan harus menempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing dan sesuai dengan porsinya masing-masing, dan mengabarkan sesuatu dengan apa adanya tanpa ada rasa melebih-lebihkan sesuatu (meluap-luap, seperti ciri khas historiografi indonesiasentris), dan tanpa ada usagha untuk mengurangi makna (mereduksi) sesuatu hal.
Untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya, seharusnya pendapat dari Behan McCullagh tersebut dikombinasikan dengan teori-teori tentang kebenaran dari ahli sejarah atau ahli filsafat sejarah yang lainnya. Misalnya dengan menggunakan teorinya Ankersmits.
Terdapat 4 teori kebenaran menurut F.R. Ankersmith[4]. Pertama teori tindak bahasa, yang mengatakan bahwa kebenaran adalah tidak ada perbedaan antara suatu pernyataan mengenai sesuatu (P) dengan pernyataan lainnya mengenai (P). Kedua adalah teori pragmatis. menurut teori ini, sebuah ucapan benar bila ucapan itu terbukti merupakan pedoman yang dapat diandalkan. Ketiga, teori korespondensi, diamana untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan itu benar, bila terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang diucapkan di dalam kenyatan (historis). Keempat teori koherensi, suatu ucapan benar, bilamana ucapan tersebut ada kaitan (koheren) dengan sejumlah ucapan yang kebenarannya sudah diterima.
Jika teori dari Behan McCullagh lebih dengan menonjolkan panca indra sejarawan, maka teori yang dikemukakan oleh Ankersmit lebih banyak kearah teknis dalam pecarian fakta-fakta kebenaran. Artinya, teori tersebut tetap saja mengandung sebuah pertanyaan besar jika kembali dipertanyakan sebuah kebenaran dalam sebuah penulisan sejarah. Karena kemudian yang muncul adalah beberapa kemungkinan mengenai peristiwa tersebut. teori tersebut hanyalah berusaha melakukan kroschek dan mensinkronkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Tujuannya adalah sedapat mungkin mengurangi subyektifitas dari sejarawan. namun setidaknya teori yang dikemukakan Ankersmit ini sedikit banyak telah mengikis rasa skeptisme (ragu-ragu) yang muncul manakala terdapat sebuah rekonstruksi terhadap sebuah peristiwa.

Otoritas Sejarawan dan Penulisan Sejarah yang “Benar”

Seorang sejarawan memiliki otoritas dalam segala hal, yang berkenaan dengan penulisan sejarah, mulai dari pemilihan tema, pemaknaan, penggunaan metode dan metodologi, hingga ke dalam teknis penulisannya. Namun, dibalik otoritasnya tersebut, seorang sejarawan harusnya berusaha untuk melakukan hal yang terbaik terkait dengan penulisan sejarahnya. Penulisan sejarah dengan menggunakan metode yang tepat. akan mampu menghadirkan kembali peristiwa masa lalu dalam bentuk tulisan dengan sebuah makna yang tepat (sesuai dengan makna ketika peristiwa tersebut terjadi).
Oleh karena itu, akan lebih lengkap lagi sebenarnya, jika teori tentang “kebenaran sejarah” dari kedua sejarawan diatas ditambahi dengan pendekatan sejarahnya Collingwood, yang mengatakan metode yang tepat dalam mempelajari sejarah adalah dengan mamasuki alam pikiran dan perasaan dari aktor sejarah.


[1] C. Behan McCullagh, The Logic of History: Putting Posmodernism in Perspective, Routledge Taylor & Fancis Group, London and New York, hlm. 6.
[2] Ibid, hlm 6.
[3] W.G.J Remmelink, Sine Ita et Studio Tanpa Kemarahan dan Berat Sebelah, dalam Nina Lubis (ed), 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo: Pelopor Sejarah Indonesia, MSI cab. Jawa Barat &Satya Historika, 2001, hlm 30.
[4] F.R Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm 111-113.

Tidak ada komentar: