Rabu, 17 Juli 2013

Sejarah Dalam Bingkai Karya Fotografi

Sejarah Dalam Bingkai Karya Fotografi
oleh Aulia Rahman.


Ada sebuah ungkapan menarik yang mengatakan, bahwa sebuah foto dapat menjelaskan 1000 kata. Ungkapan tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Dari sebuah foto memang dapat digambarkan mengenai banyak hal yang terekam dalam foto tersebut. Selain itu, keakuratan dari gambar (bukan makna) tentu saja sangat bisa dipercaya, sehingga sangat layak untuk menggunakan fotografi sebagi salah satu sumber sejarah.
Studi sejarah menggunakan karya fotografi sebagai sumber sejarah untuk merekonstruksi masa lalu, tampaknya belum banyak dilakukan oleh para sejarawan. Baru sedikit sekali yang melakukannya dengan menggunakan model ini. Salah satunya adalah James T. Siegel, yang menggunakan data-data fotografi untuk melakukan studi sejarah, mulai dari kondisi sosial masyarakat native (pribumi), masyarakat Belanda (para elit maupun tentara), bahkan hingga interaksi antara masayarakat asli Aceh dengan orang-orang Eropa (Belanda) Ilmuan lain yang menggunakan sumber fotografi dalam penulisan sejarah adalah  Jean Gelman Taylor, yang menulis narasi tentang Aceh antara tahun 1873-1930.[1] Apa yang dibahas oleh Taylor pun juga tidak jauh dari apa yang di bahas dengan Siegel.
Terdapat perbedaan penggunaan fotografi di satu wilayah dengan wilayah yang lain. Di Jawa, fotografi bertujuan untuk melastarikan budaya seperti Candi Borobudur, kerajinan batik dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan di Aceh, dimana fotografi bukan peralatan untuk melestarikan budaya, tetapi peralatan tekhnologi yang dicurahkan untuk kekalahannya dan untuk merekam sisa-sisa kekalahannya.[2]
Menurut Jean Gelman Taylor, foto adalah catatan yang direkayasa secara canggih, hasil dari hubugan sekilas antara orang yang difoto dengan juru foto.[3] Berdasarkan pengertian ini, Fotografi sebagai hasil (gambar), mengandung beberapa unsur. Yang pertama adalah juru foto dan selanjutnya adalah obyek yang difoto.

kolonialisme dalam bingkai fotografi
Pertamakali kamera diciptakan, adalah bagian dari alat untuk ilmu pasti (science) karena foto yang dihasilkannya menyampaikan ide realitas dan ide kebenaran.[4] Nampaknya hal ini sangat berbeda dengan realitas yang berkembang, terutama perkembangan fotografi di negara kolonial, dimana fotografi juga bisa dijadikan alat untuk melanggengkan kolonialsime. Potensi untuk melakukan hal ini sangat besar dan tentu saja hasilnya sangat efektif.
Tidak seperti tulisan yang hanya bisa dibaca dan dipahami oleh kalangan tertentu (yang bisa membaca saja), gambar adalah simbol yang universal. Semua orang bisa langsung melihat gambar dan kemudian memahaminya, tanpa harus belajar membaca terlebih dahulu, meskipun pemaknaan terhadap gambar tersebut sangat berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Tentu saja ini disebabkan oleh gambar foto yang tampak begitu nyata seperti keadaan yang sebenarnya (ketika foto tersebut diambil), dan hasilnya dapat langsung dipahami oleh semua orang hanya dengan melihat gambar.
Disini peran juru foto sangat penting, karena dia memiliki otoritas mengenai hal apa saja yang menurutnya layak untuk diabadikan gambarnya melalui foto. Unsur subjektifitas yang melekat dalam diri juru foto begitu tinggi. Hal inilah kemudian, ketika foto tersebut digunakan sebagai sumber sejarah, akan terjadi sebuah rekonstruksi yang sangat berat sebelah. Juru foto memiliki peranan untuk meninggikan atau mengagung-agungkan sesuatu ataupun merendahkan sesuatu, hanya melalui foto. Sungguh luar biasa.
Kumpulan foto jaman kolonial dapat menimbulkan kesan dalam pikiran orang yang melihatnya, orang timur itu tidak ada kaitan dengan jaman dak pekerjaannya hanya terbatas pada pekerjaan statis membuat kerajinan tangan, dibandingkan dengan orang Barat yang dinamis dan menguasai seluk beluk mesin bertenaga uap.[5]
            Dalam fotografi, masyarakat pribumi sering ditampilkan sebagi masyarakat yang benar-benar pribumi sebagai bangsa terjajah, dimana mereka mendominasi pekerjaan-pekerjaan rendah seperti, pembantu rumah tangga, kuli, tukang masak, pengasuh anak, penjaja makanan, dan lain sebaginya. Dan dalam foto tersebut, tanpa diberi keterangan nama dari orang yang difoto tersebut. Yang tertera dalam keterangan foto jenis pekerjaannya, seperti misalnya  “pekerjaan laki-laki dalam masa kolonial”, “pembantu rumah tangga”, dan lain sebagainya. Dengan demikian, orang yang menyaksikan foto tersebut tidak diperkenankan mengetahui siapa sebenarnya orang yang ada di dalam foto tersebut dan hanya di berikan informasi bahwa yang ada di dalam foto adalah orang pribumi dengan jenis pekerjaan yang rendah.
Hal tersebut sangat bertolak belakang, ketika juru foto mengabadikan orang Eropa dalam fotografi. orang Eropa selalu digambarkan lebih superior dalam pakaian kebesaran mereka, sebagai seorang kontrolir, Gubernur Jendral, perwira perang, bahkan sebagai prajurit perang. Tentu saja  semua foto-foto dari orang-orang Eropa tersebut disertai dengan nama terangnya sekaligus jabatannya.
Menganai pembedaan perlakukan dalam citra fotografi ini, oleh Jean Gelman Taylor disebut sebagai proses pembedaan (othering)[6]. Artinya adanya proses pembedaan secara jelas dan nyata antara pribumi dan orang Eropa di kolonialisme. Seperti dalam tidak adanya penamaan dalam foto orang-orang pribumi, menandakan adanya kecenderungan untuk mengabaikan atau bahkan meniadakan keberadaan masyarakat pribumi sebagai individu yang independen, dimana nana-nama mereka (pekerjaannya tentu saja) dicantumkan dalam fotografi sebagai milik keluarga penjajah.[7]

Keberimbangan Sumber Fotografi
Dari uraian tersebut, rekonstruksi sejarah dengan sumber fotografi yang dihasilkan oleh juru foto Eropa saja, tentu saja akan menghasilkan sebuah rekonstruksi yang telah bisa diprediksikan sebelumnya. Isinya tentu saja hanyalah keunggulan orang-orang Eropa atas masyarakat pribumi. Agar ditemukan keseimbangan, diperlukan juga sumber fotografi yang juru fotonya berasal dari masyarakat pribumi. Juru foto pribumi tentu saja memiliki otoritas dan subjektifitas yang berbeda dengan juru foto. Dan tentu saja Juru foto pribumi juga melakukan proses othering di dalamnya. Dengan Menggabungkan hasil Fotografi dari kedua juru foto (Eropa dan Pribumi), setidaknya akan menghasilkan gambaran masa lalu yang berimbang.


[1]               Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto 1873-1930, hlm. 313 dalam Bambang Purwanto Dkk (ed), Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, Obor-KITLV, Jakarta, 2008.
[2]               James T. Siegel, The Curse of The Photograph: Atjeh, 1901, hlm 23
[3]               Ibid, hlm. 314.
[4]               Op. Cit, hlm. 315
[5]               Op. Cit, hlm. 316.
[6]               Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto 1873-1930, hlm. 316. dalam Bambang Purwanto Dkk (ed), Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, Obor-KITLV, Jakarta, 2008
[7]               Lihat dalam foto-foto Tieneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Yayasan Obor, Jakarta, 2007.

Tidak ada komentar: