oleh Aulia Rahman.
Ada
sebuah ungkapan menarik yang mengatakan, bahwa sebuah foto dapat menjelaskan
1000 kata. Ungkapan tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Dari sebuah foto
memang dapat digambarkan mengenai banyak hal yang terekam dalam foto tersebut. Selain
itu, keakuratan dari gambar (bukan makna) tentu saja sangat bisa dipercaya,
sehingga sangat layak untuk menggunakan fotografi sebagi salah satu sumber
sejarah.
Studi
sejarah menggunakan karya fotografi sebagai sumber sejarah untuk merekonstruksi masa
lalu, tampaknya belum banyak dilakukan oleh para sejarawan. Baru sedikit sekali
yang melakukannya dengan menggunakan model ini. Salah satunya adalah James T.
Siegel, yang menggunakan data-data fotografi untuk melakukan studi sejarah,
mulai dari kondisi sosial masyarakat native (pribumi), masyarakat
Belanda (para elit maupun tentara), bahkan hingga interaksi antara masayarakat
asli Aceh dengan orang-orang Eropa (Belanda) Ilmuan lain yang menggunakan sumber
fotografi dalam penulisan sejarah adalah
Jean Gelman Taylor, yang menulis narasi tentang Aceh antara tahun
1873-1930.[1] Apa
yang dibahas oleh Taylor pun juga tidak jauh dari apa yang di bahas dengan
Siegel.
Terdapat
perbedaan penggunaan fotografi di satu wilayah dengan wilayah yang lain. Di
Jawa, fotografi bertujuan untuk melastarikan budaya seperti Candi Borobudur,
kerajinan batik dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan di Aceh, dimana fotografi
bukan peralatan untuk melestarikan budaya, tetapi peralatan tekhnologi yang
dicurahkan untuk kekalahannya dan untuk merekam sisa-sisa kekalahannya.[2]
Menurut
Jean Gelman Taylor, foto adalah catatan yang direkayasa secara canggih, hasil
dari hubugan sekilas antara orang yang difoto dengan juru foto.[3]
Berdasarkan pengertian ini, Fotografi sebagai hasil (gambar), mengandung
beberapa unsur. Yang pertama adalah juru foto dan selanjutnya adalah obyek yang
difoto.
kolonialisme
dalam bingkai fotografi
Pertamakali
kamera diciptakan, adalah bagian dari alat untuk ilmu pasti (science)
karena foto yang dihasilkannya menyampaikan ide realitas dan ide kebenaran.[4] Nampaknya
hal ini sangat berbeda dengan realitas yang berkembang, terutama perkembangan
fotografi di negara kolonial, dimana fotografi juga bisa dijadikan alat untuk melanggengkan
kolonialsime. Potensi untuk melakukan hal ini sangat besar dan tentu saja
hasilnya sangat efektif.
Tidak
seperti tulisan yang hanya bisa dibaca dan dipahami oleh kalangan tertentu
(yang bisa membaca saja), gambar adalah simbol yang universal. Semua orang bisa
langsung melihat gambar dan kemudian memahaminya, tanpa harus belajar membaca
terlebih dahulu, meskipun pemaknaan terhadap gambar tersebut sangat berbeda
antara orang yang satu dengan orang yang lain. Tentu saja ini disebabkan oleh
gambar foto yang tampak begitu nyata seperti keadaan yang sebenarnya (ketika foto
tersebut diambil), dan hasilnya dapat langsung dipahami oleh semua orang hanya
dengan melihat gambar.
Disini
peran juru foto sangat penting, karena dia memiliki otoritas mengenai hal apa
saja yang menurutnya layak untuk diabadikan gambarnya melalui foto. Unsur
subjektifitas yang melekat dalam diri juru foto begitu tinggi. Hal inilah
kemudian, ketika foto tersebut digunakan sebagai sumber sejarah, akan terjadi
sebuah rekonstruksi yang sangat berat sebelah. Juru foto memiliki peranan untuk
meninggikan atau mengagung-agungkan sesuatu ataupun merendahkan sesuatu, hanya
melalui foto. Sungguh luar biasa.
Kumpulan
foto jaman kolonial dapat menimbulkan kesan dalam pikiran orang yang
melihatnya, orang timur itu tidak ada kaitan dengan jaman dak pekerjaannya
hanya terbatas pada pekerjaan statis membuat kerajinan tangan, dibandingkan
dengan orang Barat yang dinamis dan menguasai seluk beluk mesin bertenaga uap.[5]
Dalam fotografi, masyarakat pribumi
sering ditampilkan sebagi masyarakat yang benar-benar pribumi sebagai bangsa
terjajah, dimana mereka mendominasi pekerjaan-pekerjaan rendah seperti,
pembantu rumah tangga, kuli, tukang masak, pengasuh anak, penjaja makanan, dan
lain sebaginya. Dan dalam foto tersebut, tanpa diberi keterangan nama dari
orang yang difoto tersebut. Yang tertera dalam keterangan foto jenis
pekerjaannya, seperti misalnya
“pekerjaan laki-laki dalam masa kolonial”, “pembantu rumah tangga”, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, orang yang menyaksikan foto tersebut tidak
diperkenankan mengetahui siapa sebenarnya orang yang ada di dalam foto tersebut
dan hanya di berikan informasi bahwa yang ada di dalam foto adalah orang
pribumi dengan jenis pekerjaan yang rendah.
Hal
tersebut sangat bertolak belakang, ketika juru foto mengabadikan orang Eropa
dalam fotografi. orang Eropa selalu digambarkan lebih superior dalam pakaian
kebesaran mereka, sebagai seorang kontrolir, Gubernur Jendral, perwira perang,
bahkan sebagai prajurit perang. Tentu saja
semua foto-foto dari orang-orang Eropa tersebut disertai dengan nama
terangnya sekaligus jabatannya.
Menganai
pembedaan perlakukan dalam citra fotografi ini, oleh Jean Gelman Taylor disebut
sebagai proses pembedaan (othering)[6].
Artinya adanya proses pembedaan secara jelas dan nyata antara pribumi dan orang
Eropa di kolonialisme. Seperti dalam tidak adanya penamaan dalam foto
orang-orang pribumi, menandakan adanya kecenderungan untuk mengabaikan atau
bahkan meniadakan keberadaan masyarakat pribumi sebagai individu yang
independen, dimana nana-nama mereka (pekerjaannya tentu saja) dicantumkan dalam
fotografi sebagai milik keluarga penjajah.[7]
Keberimbangan
Sumber Fotografi
Dari
uraian tersebut, rekonstruksi sejarah dengan sumber fotografi yang dihasilkan
oleh juru foto Eropa saja, tentu saja akan menghasilkan sebuah rekonstruksi
yang telah bisa diprediksikan sebelumnya. Isinya tentu saja hanyalah keunggulan
orang-orang Eropa atas masyarakat pribumi. Agar ditemukan keseimbangan,
diperlukan juga sumber fotografi yang juru fotonya berasal dari masyarakat
pribumi. Juru foto pribumi tentu saja memiliki otoritas dan subjektifitas yang
berbeda dengan juru foto. Dan tentu saja Juru foto pribumi juga melakukan
proses othering di dalamnya. Dengan Menggabungkan hasil Fotografi dari
kedua juru foto (Eropa dan Pribumi), setidaknya akan menghasilkan gambaran masa
lalu yang berimbang.
[1] Jean Gelman Taylor, Aceh:
Narasi Foto 1873-1930, hlm. 313 dalam Bambang Purwanto Dkk (ed), Perspektif
baru Penulisan Sejarah Indonesia, Obor-KITLV, Jakarta, 2008.
[2] James T. Siegel, The Curse of
The Photograph: Atjeh, 1901, hlm 23
[3] Ibid, hlm. 314.
[4] Op. Cit, hlm. 315
[5] Op. Cit, hlm. 316.
[6] Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi
Foto 1873-1930, hlm. 316. dalam Bambang Purwanto Dkk (ed), Perspektif baru
Penulisan Sejarah Indonesia, Obor-KITLV, Jakarta, 2008
[7] Lihat dalam foto-foto Tieneke
Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Yayasan Obor, Jakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar