Rabu, 17 Juli 2013

Menggagas Penulisan Historiografi yang Humanis


Membumikan Sejarah:
Menggagas Penulisan Historiografi yang Humanis
Oleh Aulia Rahman


Pengantar

Pada umumnya, disepakati bahwa satu-satunya penulisan bentuk ‘sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima adalah apa yang disebut Heater Sutherland sebagai Modern Professional History (Sejarah Profesional Modern, SPM).[1] Dalam SMP ini tema-tema yang mendominasi yang berhubungan dengan politik, diplomasi, serta militer. Ini memang tidak terlepas dari pengaruh Eropa abad 19.
Dengan demikian, sejarah yang tercatat hanyalah merupakan narasi-narasi besar (grand narative) yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada modernitas bangsa-bangsa.[2] Sementara itu, topik-topik yang lain yang skalanya lebih kecil, seolah-olah tidak memiliki ruang dalam pencatatan sejarah.
Penulisan sejarah seperti ini tampaknya hanya mementingkan golongan tertentu saja. Bahkan sejarah hanya digunakan sebagai alat politik sebagai alat romantisme dan legitimasi kekuasaan. Padahal sejarah bisa berbuat lebih jauh dari itu. Sejarah bisa berguna untuk masyarakat luas. Namun tentu saja tidak dengan sejarah model SPM, melainkan dengan sejarah yang dekat dengan masyarakat.
Sementara itu, arah penulisan sejarah di Indonesia baru terlihat ketika diadakan  seminar sejarah I pada akhir tahun 1957 di Yogyakarta. Perbincangan dalam seminar tersebut tampaknya menjadi landasan filosofis yang penting penulisan sejarah Indonesia pasca kolonial. Dalam seminar tersebut dibicarakan format yang sesuai bagi penulisan sejarah di Indonesia. Keputusan logis yang diambil dalam seminar tersebut adalah reaksi politis terhadap historiografi kolonial yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia didalam proses sejarah masyarakatnya sendiri daripada reaksi intelektual bagi pengembangan  ilmu sejarah.[3] Penulisan sejarah kolonial dimana orang Barat menulis tentang Indonesia, digantikan dengan orang Indonesia yang menulis sejarahnya sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan penulisan sejarah Indonesiasentris, sebagai tandingan penulisan sejarah kolonial. Dalam konteks inipun, ternyata masyarakat umum belum sepenuhnya ditampilkan dalam penulisan sejarah di Indonesia.
           
Sejarah Sosial ala Prof. Sartono Kartodirdjo

Sebagai ‘jembatan’ agar sejarah memiliki jangkauan yang lebih lengkap dan bermanfaat bagi masyarakat luas, diperkenalkanlah sebuah pendekatan sejarah menggunakan ilmu-ilmu sosial. Namun kerjasama tersebut kedua ilmu tersebut, menurut kuntowijoyo,[4] lebih nampak sebagai kontradisksi. Hal tersebut karena adanya perbedaaya yang sangat mendasar dari kedua jenis ilmu tersebut.
Sejarah bersifat unik. Artinya kejadian sejarah hanya berlaku sekali pada suatu tempat, dan pada waktu tertentu. sejarah tidak mungkin terjadi untuk yang keduakali ataupun kesekian kalinya. Sementara ilmu-ilmu sosial, lebih pada mencari pada hal-hal yang bersifat umum, cenderung terjadi berkali-kali serta tidak terikat dengan konteks ruang (space) dan waktu (time).
Perbedaan yang lain yang lebih bersifat semu,[5] sejarah itu diachronic, sedangkan ilmu sosial adalah synchronic. Sejarah bersifat diachronic karena dalam penulisan sejarah melibatkan dua masa waktu yang berbeda, dan yang dikaji adalah mengenai perubahan (change) dan keberlangsungan (continuity). Sementara ilmu sosial bersifat synchronic, yang hanya mempelajari sesuatu dalam satu waktu saja. Konsekuensi yang diambil sejarawan  ketika menggunakan ‘jembatan’ tersebut harus berpikir ganda, yakni dengan diachronic dan synchronic.
Penulisan sejarah sosial diawali oleh Sartono, dengan karyanya yang berjudul pemberontakan petani Banten,[6] dan Protes Movement in Rural Java, mampu memadukan antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Banyaknya permasalahan-permasalahan yang muncul yang multi dimensional. Oleh karena itu diperlukan pula perlengkapan yang menggunakan metodologi yang sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang ada. Oleh karena itu, digunakanlah pendekatan multidimensional. [7]Karya beserta metodologinya ini kemudian diajarkan kepada murid-muridnya.
Tampaknya rintisan pak Sartono ini cukup berhasil yang dibuktikan dengan munculnya karya-karya sejarawan-sejarawan penerus pak Sartono dengan mengikuti jejak pemikiran pak Sartono mengenai sejarah sosial. Seperti Djoko Suryo dengan Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, Suhartono dengan Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830-1920), dan Kuntowijoyo dengan Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-1915. Mereka secara konsisten menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam penulisan sejarah.
Sejarah sosial, yang di Indonesia dirintis oleh pak Sartono, telah berhasil dengan cemerlang mengubah paradigma, dari anggapan, sejarah hanyalah narasi-narasi besar (grand narative) dimana hanya orang-orang besarlah yang, kearah kelompok-kelompok serta berciri-ciri kolektif. Menurut pak Sartono, sebagaimana dikutip oleh Bambang Purwanto, digunakannya pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam metodologi sejarah, diharapkan agar “akan lebih banyak masalah yang nampak”.[8] Apa yang dikatakan pak Sartono ini memang benar, dimana hal tersebut bisa disaksikan dalam karya-karyanya beserta para pengikut jejaknya yang mampu mengungkapkan banyak permasalahan sosial didalamnya. Namun, ada beberapa hal kecil yang kurang begitu diperhatikan oleh pak Sartono, yaitu mengungkapkan hal kecil (mikro) yang dilupakan (diabaikan) dalam sejarah.[9]

Mengakrabkan Masyarakat dalam Historiografi Indonesia

Sejarah Sosial ini sangat berjasa dalam penulisan sejarah Indonesia. Dengan pendekatan ilmu-ilmu sosialnya, penulisan sejarah mampu menembus ilmu-ilmu sosial lainya, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan lain sebagainya. Sejarah terbuka terhadap ilmu-ilmu yang lain. Kemudian, dengan pendekatan ilmu sosial ini, sejarah mampu melakukan eksplorasi dan eksplanasi secara mendalam.
Tema-tema historiografi seperti pemberontakan petani, industri gula, perkebunan, dan lain sebagainya, begitu menarik ditulis oleh para sejarawan dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial ini. Hampir pada setiap sektor dibahas secara terperinci, mulai dari segi sosial, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahkan dari segi politiknya. Namun jika karya-karya tersebut ‘dilemparkan’ ke masyarakat luas, karya-karya tersebut seolah-olah berada di awang-awang. Masyarakat, karena tidak memiliki kontribusi nyata bagi mereka.
Tidak dapat dipungkiri, tidak ada sesuatu yang sempurna. Mungkin itulah ungkapan yang pantas disematkan pada sejarah sosial tersebut. Karena, meskipun memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penulisan sejarah Indonesia, ternyata masih menyisakan permasalahan.
Salah satunya adalah luputnya perhatian para sejarawan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat ataupun terhadap segala hal sesuatu yang tampaknya sangat remeh. Padahal bagaimanapun juga, kehidupan tersebut tampak sangat nyata didepan mata kita. Ada sebuah ketakutan ketika sejarah dengan model tersebut diatas terus berkembang, akan tidak berkontriubusi terhadap masyrakat. Padahal, agar sejarah berguna bagi kehidupan masyarakat, tema-tema remeh serta kehidupan sehari-hari dari masyarakat seperti itu seharusnya juga menjadi tema yang perlu dikembangkan secara serius, selain juga terus mengembangkan sejarah sosial.
Terdapat beberapa tawaran baru mengenai penulisan sejarah Indonesia yang dapat dilihat dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.[10] Tawaran baru tersebut berupa tema maupun metodologi. Tujuan tawaran baru tersebut adalah, mengangkat segala hal tampak remeh (non mainstream) dan kecil (micro), dimana hal tersebut lebih dekat dengan masyarakat dan agar sejarah memiliki peranan dan mampu menjawab persoalan kekinian dalam masyarakat. Maka tema-tema seperti kesenian ataupun mengenai kehidupan sehari-hari di angkat, agar sejarah memiliki kontribusi untuk menjawab permasalahan dalam masayarakat kekinian.
Pandangan-pandangan lain dalam penulisan sejarah juga dipaparkan dam buku New Pers Historical Writing,[11] dimana didalamnya banyak diungkapkan tema-tema baru yang bisa ditulis di Indonesia, seperti sejarah tubuh, sejarah visual, sejarah mikro, sejarah perempuan. Tema tema yang ditawarkan tersebut tentu saja sangat menarik untuk dikembangkan lebih lanjut. Dengan ditulisnya tema-tema alternatif tersebut, penulisan sejarah di Indonesia akan sangat bervariasi
Sesuai dengan perkembangan jaman, tentu saja semangat jaman (zetgeist) dalam penulisan sejarah juga berbeda, karena permasalahan-permasalah yang ada juga semakin kompleks. Kita perlu mengembangkan wawasan dalam penulisan sejarah, karena dengan demikian cara pandang kita terhadap sesuatu akan lebih luas dan dengan pendekatan pendekatan tersebut akan dapat lebih banyak untuk menyingkap permasalahan-permasalah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Djoko Suryo, bawa sejarawan dituntut untuk melakukan pembaruan dengan melakukan upaya untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan tersebut dengan mencari paradigma dan metodologi yang dianggap tepat.[12]

Terobosan Metode dan Metodologi
Sejarah Lisan

Tema-tema baru tersebut tentu saja harus diikuti dengan metode-metodologi konvensional. Terdapat permasalahan dalam metode sejarah konvensional, yang terlalu terpaku dengan slogan ‘no document, no history’.[13] Dalam hal ini dokumen begitu penting dalam penulisan sejarah, terutama dokumen tertulis. Perlakuan semacam ini seolah-olah mencampakkan sumber-sumber yang non-dokumen. Dampaknya adanya kemubadziran sumber-sumber oral, seperti tradisi lisan, yang sebetulnya bisa dimanfaatkan sebagai salah satu sumber alternatif dalam penulisan sejarah berbasis kearifan lokal.
Selain penggunaan sumber tradisi lisan, metode sejarah lisan tampaknya perlu dikembangkan lebih lanjut. Berbeda dengan tradisi lisan, sejarah lisan tidak didapatkan tetapi dicari dengan kesengajaan. Hal ini dikarenakan tidak semua jejak-jejak sejarah terekam dalam sumber tertulis.[14]
Seperti ketika kita akan melakukan kajian terhadap seni sandiwara di Yogyakarta pada masa revolusi misalnya. Tentu saja sumber-sumber cetak yang menyangkut hal tersebut sangat terbatas. Dokumen yang berasal dari negara tidak mungkin menyediakan atau menuliskan mengenai kegiatan seni sandiwara ini. Sedangkan sumber-sumber tertulis yang diungkapkan melalui media massa pada masa tersebut juga sangat terbatas informasinya.[15] Akan sangat berspekulasi jika kita hanya menafsirkan dari sumber-sumber tertulis yang sangat terbatas tersebut.
Dari iklan-iklan tersebut, kita hanya bisa mengetahui seni sandiwara dari satu arah saja, maksudnya hanya mengetahui dari apa yang diungkapkan melalui iklan di Media. Misalnya seperti; judul sandiwara, pemainnya, selingan hiburan, dan bahkan sumbangan materi yang diberikan oleh rombongan seni sandiwara tersebut, yang menurut iklan akan diberikan kepada laskar rakyat ataupun badan-badan perjuangan (resmi atau tidak resmi) lainnya.
 Jika hanya melihat iklan tersebut, kita tidak melakukan kroschek terhadap iklan-iklan di media massa tersebut, bagaimana keadaan seni sandiwara yang diiklankan dalam harian lokal Yogyakarta tersebut. Apakah benar seni sandiwara menyumbangkan materi untuk para laskar-laskar melalui hasil penjualan tiket pertunjukan sandiwara tersebut?, Bagaimana tanggapan penonton terhadap cerita-cerita sandiwara tersebut yang  menurut iklan mampu mempengaruhi masyarakat terhadap pengertian makna perjuangan?, kemudian dengan cara-cara seperti apa keluarga para bangsawa berkontribusi dalam kesenian ini, dimana kesenian di kalangan bangsawan terkenal elitis dan adiluhung. Lakon apa yang akan ditampilkan oleh pertunjukan sandiwara dari kalangan keraton dan kenapa mereka melakukan hal tersebut, menjadi pertanyaan yang sangat menarik untuk dicarikan jawabannya
Hal-hal seperti ini tidak bisa didapatkan hanya dari sumber-sumber tertulis, baik itu dari koran ataupun dari dokumen yang dikeluarkan oleh negara. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode yang mampu menjawab pertanyaan-pertannyaan tersebut diatas.
Sejarah lisan ini merupakan salah satu jawaban yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yakni dengan melakukan wawancara dengan pelaku sejarah, dalam konteks ini para pelaku seni sandiwara ataupun dari para penonton seni sandiwara, hingga wawancara kepada laskar-lasykar rakyat. Dengan demikian perubahan-perubahan bentuk dan fungsi dari seni sandiwara sebelum revolusi dan pada masa revolusi dapat dikaji.
Dengan demikian sejarah lisan tampaknya bisa digunakan untuk mengangkat sejarah yang jejaknya tidak terekam dalam sumber cetak. Misalnya saja dalam sejarah seni, sejarah keluarga, yang didalamnya berisi dengan sejarah yang akrab kehidupan sehari-hari keluarga dan masyarakat tersebut.
Misalnya saja pendidikan orang tua terhadap anak, bagaimana reaksi anak ketika melakukan proter terhadap orang tua, bagaimana komunikasi anak dalam menghadapi orang tua ketika terlibat dalam suatu masalah, dimana hal tersebut tidak terekam dalam dokumen tertulis. Untuk mendapatkan hal itu, tentu saja harus dilakukan dengan sejarah lisan.
Terdapat beberapa keuntungan dari sejarah lisan, seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo,[16] pertama dengan sifatnya yang kontemporer sejarah lisan memberikan keuntungan yang hampir-hampir tidak terbatas untuk menggali sejarah dari para pelakunya. Kedua, sejarah lisan dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak terebutkan dalam dokumen. Ketiga, permasalahan yang dibahas bisa menjad lebih luas, karena tidak terpaku ada dokumen tertulis.
Dengan demikian, sejarah lisan, dengan segala kelebihannya tersebut, sangatlah penting sebagai metode sejarah yang diharapkan akan mengungkapkan kehidupan orang-orang kecil yang (selalu) tidak memiliki tempat dalam dokumen tertulis, dimana dokumen-dokumen tertulis lebih mendokumentasikan hal-hal yang lebih besar, biasanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan negara.

Penggunaan Media Visual sebagai Sumber

Dari segi metode dan metodologi, dimulai dimunculkan ide dengan penulisan maupun sumber-sumbernya adalah visual. Hal ini tampaknya diperlukan untuk menjawab tantangan penulisan sejarah pada masa kini yang sangat memerlukan inovasi. Hal ini tampak dalam tulisan Gelman Taylor yang menulis mengenai Aceh dengan menggunakan narasi foto.[17]  Selain itu, Ivan Gaskel juga menawarkan penulisan sejarah visual (history of image).[18]
Penggunaan sumber  visual tampaknya sangat menarik. Kehidupan yang tercetak didalam gambar visual tersebut merupakan hasil tampilan sebenarnya dari keadaan masalalu yang diambil pada jamannya. Dengan demikian hasil rekostruksinya tentu saja menjadi lebih nyata, karena sejarawan memiliki daya imaginasi yang lebih mudah dengan bantuan sumber visual.[19]
Penggunaan sumber visual ini juga akan sangat memudahkan dalam menulis sejarah mengenai seni pertunjukan. Foto-foto yang ada (jika ada) akan mampu memperlihatkan keadaan yang sebenarnya mengenai seni sandiwara itu sendiri bahkan secara lebih luas, mampu merekam kehidupak sosial disekitar seni sandiwara tersebut. Bentuk panggung dapat kita lihat jelas dalam foto tersebut. selain itu, kostum yang dipakai oleh pemain sandiwara juga dapat diketahui melalui foto tersebut. Antusiasme penonton juga bisa dilihat dari foto-foto tersebut.
Gambaran visual yang ada akan mampu merekam, apakah maksud dan tujuan yang dilakukan oleh kelompok sandiwara keliling di Yogyakarta menemui sasarannya, (misalnya) yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah penonton yang mengadiri setiap pertunjukan seni sandiwara tersebut dipentaskan dan sejauh mana para penonton memahami maksud-maksud yang disampaikan dalam sandiwara tersebut..
Selanjutnya, hal yang lebih menarik dan tampaknya belum banyak yang dilakukan adalah upaya untuk melakukan dokumentasi audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia yang dilakukan oleh Henk Sculte Nordholt bersama Fridus Steijlen.[20] Jika para sejarawan pada abad 19 memiliki alat untuk melakukan dokumentasi visual, tentu saja penulisan sejarah bisa dilakukan dengan mudah. Dokumentasi ini sangat diperlukan agar kedepan, penulisan sejarah mampu dihadirkan dengan data-data yang modern dan canggih, sehingga kualitas dari penulisan sejarah lebih dapat diterima sebagai keadaan yang sebenarnya. Hanya saja, dokumentasi visual ini baru bisa dilakukan pada kalangan masyarakat umum. Sementara untuk merekam secara audio visual
Melihat perkembangan yang terjadi dewasa ini, tampaknya pergeseran-pergeseran ini tampaknya merupakan pengaruh zeitgeist atau jiwa jaman yang berbeda antara generasi terdahulu dengan generasi yang sekarang. Permasalahan-permasalahan pada masa kini menuntut penulisan sejarah untuk lebih mengembangkan tema, metode, maupun metodologinya.
Penulisan sejarah yang mengangkat kehidupan sehari-hari, sebenarnya bukanlah perspektif baru dalam penulisan sejarah. Di Jerman, Alf Ludtke pada tahun 1980 mengemukakan konsep Alltagsgeschite (sejarah-sehari-hari). Bersama rekan-rekannya ia menekankan pentingnya mempelajari kehidupan sehari-hari dengan fokus pengalaman pekerjaan, kehidupan keluarga, kehidupan bertetangga, dan sekolah, untuk melihat struktur ekonomi, pola politik dan proses sejarah yang menentukan kehidupan orang biasa dari bawah.[21] Aliran ini muncul sebagai kritik dari penulisan secara ala narasi-narasi besar.
Sementara penulisan sejarah di Indonesia pada tahun-tahun terebut, begitu populer dengan sejarah sosialnya pak Sartono. Maraknya penulisan sejarah sosial ini seakan-akan melupakan penulisan sejarah yang lebih berbasiskan masyarakat. Baru pada akhir-akhir ini aliran Alf Ludtke ini masuk dan begitu populer dalam penulisan sejarah Indonesia.

Pemahaman Terhadap Permasalahan dan Sumber

Memahami permasalahan, merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan oleh sejarawan sebelum melakukan penulisan sejarah. Persoalan adalah sebuah masalah utama yang harus dikerjakan, dan menjadi patokan yang berkelanjutan dalam penulisan sejarah. Ketika tidak memahami sebuah permasalahan, bisa jadi hasil penulisan akan melebar kemana-mana dan tidak menjawab permasalahan.
Penulisan sejarah kehidupan sehari-hari yang dekat dengan masyarakat tidak mudah. Kesulitannya terletak pada minimnya sumber dokumen tertulis yang menceritakan mengenai kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu metode maupun metodologinya pun harus menyesuaikan dengan tema. Tujuannya adalah agar mampu mengeskplorasi secara mendalam. Verstehen (pemahaman)[22] dan hermeuniitc (penafsiran), merupakan beberapa metode yang bisa digunakan untuk menjawab permasalahan dalam pengerjaan tema-tema tersebut. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Collingwood, bahwa metode yang tepat dalam mempelajari sejarah ialah dengan memasuki alam pikiran dan perasaan aktor sejarah.[23]
Kedua hal ini mutlak diperlukan untuk memahami apa yang dilakukan dan apa yang dipikirkan oleh pelaku sejarah. Lebih jauh, hal tersebut juba bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk membaca sebuah sumber sejarah untuk menemukan makaa-makna yang lebih dalam dari teks. Sumber-sumber yang tertulis dalam sebuah teks, biasanya belum merupakan sumber yang layak untuk ‘dikonsumsi’ oleh sejarawan. selain itu, hal-hal yang berhubungan dengan mental dan pikiran manusia pun (yang tidak ada dalam sebuah teks) juga mampu diungkapkan.

Penjelasan sejarah (Historical Explanation)[24]

Dalam sebuah kuliah, Bambang Purwanto pernah mengatakan bahwa kekuatan utama dari sejarah terletak pada narasinya.[25] Pernyataan ini menegaskan, bahwa peranan narasi begitu penting dalam sejarah. Narasi menjadi penghubung dari satu fakta dengan fakta yang lainnya, yang kemudian menyusunnya menjadi sebuah narasi yang alurnya jelas dan dapat dinikmati.
Kemampuan si pengisah untuk bercerita dengan menggunakan gaya bahasa yang menarik, bergairah dan hidup, akan memikat perhatian serta seasyikan pandangan.[26] Penggunaan gaya bahasa tersebut menandakan bahwa sejarah selain sebagai ilmu, juga terkandung unsur sastra didalamnya.
Narasi dalam sejarah mengungkapkan fakta sekitar hal-hal yang setidaknya perlu diungkapkan untuk mengetahu secara jelas sebuah peristiwa sejarah, seperti mengenai apa, siapa, kapan, dan dimana. Disamping itu, dalam narasi tersebut juga memaparkan mengenai bagaimana sesuatu tersebut telah terjadi.[27]

Penutup

Menurut Sartono,[28] metodologi tidak menjamin seseorang dengan begitu  saja bisa mahir dalam menuliskan sejarah tetapi juga diharapkan memiliki daya imaginasi, daya pengertian yang mendalam. Selain itu, penguasaan metode sejarah juga menjadi kemampuan yang harus dikuasai oleh sejarawan. Karena dalam penulisan sejarah memang melibatkan banyak faktor.
Dalam penulisan sejarah, seorang sejarawan memiliki otoritas penuh terhadap karyanya, mulai dari pemilihan topik, ruang (space), waktu (time), maupun dari pendekatannya. Jadi tidak ada salahnya jika penulisan sejarah muncul dengan banyak tema, metode maupun metodologinya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh R. Aron, yang dikutip Sartono, dimana historiografi berbeda-beda menurut negerinya, masanya, dan kepribadian dari sejarawan.[29]
Penulisan sejarah di Indonesia sangat berbeda dengan diluar negeri. Jadi tidak heran jika penulisan sejarah sosial ala Sartono ini telah populer di Amerika dengan sebutan New History pada tahun 1912, kemudian di Prancis ada aliran Annales. Padahal di Indonesia Sendiri, sejarah dengan pendekatan sosial ini diperkenalkan pada tahun 1960-an, itupun setelah Sartono melakukan studi pascasarjana di Yale University Amerika dan mengambil program doktoralnya  di Leiden Belanda.
Dalam tradisi historiografi di Indonesia tentu saja berbeda dengan negara-negara Barat yang telah maju dalam historiografinya. Permasalahan-permasalahan dalam proses perkembangan historiografi di Indonesia tentu berbeda dengan permasalahan-permasalahan di Barat, yang tentu saja memerlukan pemecahan yang berbeda pula. Namun setidaknya, tradisi historiografi Barat mampu memberikan gambaran dan pengayaan wawasan terhadap perkembangan historiografi di Indonesia. Kedepan, seiring dengan perkembangan historiografi di Indonesia, selain merupakan fingsinya yang merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah, historiografi Indonesia akan mampu menjawab permasalahan-permasalahan kekinian dalam masyarakat dengan menggunanak pendekatan dan teori sejarah baru.[30]


     
DAFTAR PUSTAKA


Alun Munslaw, The New History, (Harlow: Pearson Education Limited, 2003)

Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!, (Yogyakarta: Ombak, 2006)

Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern, (Yogyakarta: STPN Press, 2009)

Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, ( Jakarta: Obor-KITLV, 2008)

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (edisi 2), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)

-----------------, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008)

Nina Lubis (ed), 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirjo: Pelopor Sejarah Indonesia, (Bandung: MSI Cabang Jawa Barat, 2001)

Peter Burke (ed), New Pers Historical Writing, (Pennynsylvania: The Pennynsylvania State University Press University Park, 1991.

Sartono Kartodirdjo, Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Its Conditions, Course and Sequel. A Case Study of Social Movement in Indonesia. (‘s-Gravenhagen Martinus Nijhoff, 1966)

---------------------------, Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia: Pidato Dies Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19 September 1967 di Sitihinggil Yogyakarta.

---------------------------, Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama, 1993)

---------------------------, Perkembangan dan Pemikiran Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982)

Sumber Non Pustaka:

Iklan-iklan di harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 1946

Kuliah Kapita Selekta oleh Bambang Purwanto tanggal 23 Desember 2009, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada


[1] Heather Sutherland, Meneliti Sejarah Penulisan Indonesia dalam, Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 34,
[2] Ibid.
[3] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!, (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm.57-58.
[4] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 117.
[5] Ibid, 117-118.
[6]  Judul aslinya adalah  Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Its Conditions, Course and Sequel. A Case Study of Social Movement in Indonesia. (‘s-Gravenhagen Martinus Nijhoff, 1966).
 [7] Sartono Kartodirdjo, Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia: Pidato Dies Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19 September 1967 di Sitihinggil Yogyakarta, hlm. 38.
[8]  Bambang Purwanto, Op. Cit., hlm. 59.
[9] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama, 1993),hlm. 75. Dalam hal ini Sartono mengungkapakan bahwa “Kita (sejarawan) tidak tenggelam dalam naratif rinci, yang dalam perspektif makro tidak bermakna samasekali.”
Dalam penulisan sejarah lokal misalanya, pak Sartono dengan tegas mengatakan, pendekatan strukturlah yang mampu menempatkan peristiwa yang unik kedalam kerangka konseptual sehingga dibuat generalisasinya; jadi penuh makna. Dengan demikian, tidak tenggelam dalam naratif rinci, yang dalam perspektif makro tidak bermakna sama sekali.”
[10] Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed),  Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Obor-KITLV, 2008)
[11] Lihat Peter Burke (ed), New Pers Historical Writing, ( Pennynsylvania: The Pennynsylvania State University Press University Park, 1991)
[12] Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern, (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm. 11.
[13] Ungkapan ini dipopulerkan oleh Leopold Von Ranke.
[14] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (edisi 2), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 26.
[15] Lihat iklan-iklan di Harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 1946, mengenai pertunjukan kelilling seni sandiwara.
[16] Ibid, hlm 29-30.
[17] Lihat Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto, 1873-1930, dalam Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 313.
[18] Lihat tulisan Ivan Gaskell, The History of Image, dalam Peter Burke (ed), New Pers Historical Writing, ( Pennynsylvania: The Pennynsylvania State University Press University Park, 1991), hlm 168.
[19] Mengenai penggunaan sumber visual, lihat juga tulisan James T. Siegel, The Curse of the Photograph: Atjeh, 1901, yang menuliskan mengenai perang di Aceh yang menggunkan sumber-sumber visual., dalam Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008),
[20] Lihat Henk Sculte Nordholt dan Fridus Steijlen, Don’t forget to remember me: Arsip audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad 21, dalam, Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 373.
[21] Henk Sculte Nordholt dan Fridus Steijlen, Don’t forget to remember me: Arsip audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad 21, dalam, Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, ( Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 373.
[22] Diungkapkan oleh William Dilthey dalam Pattern and Meaning in History, yang dikutip oleh Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 209.
[23] Ungkapan Colingwood yang dikutip Taufik Abdullah , Sine Ira et Studio, Tanpa Kemarahan dan Rasa Berat Sebelah, dalam Nina Lubis (ed), 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirjo: Pelopor Sejarah Indonesia, (Bandung: MSI Cabang Jawa Barat, 2001), hlm. 115.
[24] Istilah ini meminjam dari judul buku Kuntowijoyo, Penjelasan sejarah (Historical Explanation)
[25] Kuliah Kapita Selekta oleh Bambang Purwanto tanggal 23 Desember 2009.
[26] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama, 1993), hlm 1.
[27] Ibid
[28] Sartono Kartodirdjo, Perkembangan dan Pemikiran Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 69.
[29] Dikutip oleh Sartono, dari R. Aron, Introduction to the Philosophy of History Modern, (Boston, 1961), hlm. 282, dalam Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama, 1993).
[30] Lihat Alun Munslaw, The New History, (Harlow: Pearson Education Limited, 2003)



Tidak ada komentar: