Membumikan Sejarah:
Menggagas Penulisan Historiografi yang Humanis
Oleh Aulia Rahman
Pengantar
Pada
umumnya, disepakati bahwa satu-satunya penulisan bentuk ‘sejarah sebagai
catatan’ yang umum diterima adalah apa yang disebut Heater Sutherland sebagai Modern
Professional History (Sejarah Profesional Modern, SPM).[1] Dalam SMP
ini tema-tema yang mendominasi yang berhubungan dengan politik, diplomasi,
serta militer. Ini memang tidak terlepas dari pengaruh Eropa abad 19.
Dengan
demikian, sejarah yang tercatat hanyalah merupakan narasi-narasi besar (grand
narative) yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada
modernitas bangsa-bangsa.[2]
Sementara itu, topik-topik yang lain yang skalanya lebih kecil, seolah-olah
tidak memiliki ruang dalam pencatatan sejarah.
Penulisan
sejarah seperti ini tampaknya hanya mementingkan golongan tertentu saja. Bahkan
sejarah hanya digunakan sebagai alat politik sebagai alat romantisme dan legitimasi
kekuasaan. Padahal sejarah bisa berbuat lebih jauh dari itu. Sejarah bisa
berguna untuk masyarakat luas. Namun tentu saja tidak dengan sejarah model SPM,
melainkan dengan sejarah yang dekat dengan masyarakat.
Sementara
itu, arah penulisan sejarah di Indonesia baru terlihat ketika diadakan seminar sejarah I pada akhir tahun 1957 di
Yogyakarta. Perbincangan dalam seminar tersebut tampaknya menjadi landasan filosofis
yang penting penulisan sejarah Indonesia pasca kolonial. Dalam seminar tersebut
dibicarakan format yang sesuai bagi penulisan sejarah di Indonesia. Keputusan
logis yang diambil dalam seminar tersebut adalah reaksi politis terhadap
historiografi kolonial yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia didalam
proses sejarah masyarakatnya sendiri daripada reaksi intelektual bagi
pengembangan ilmu sejarah.[3] Penulisan
sejarah kolonial dimana orang Barat menulis tentang Indonesia, digantikan
dengan orang Indonesia yang menulis sejarahnya sendiri. Inilah yang kemudian disebut
dengan penulisan sejarah Indonesiasentris, sebagai tandingan penulisan sejarah
kolonial. Dalam konteks inipun, ternyata masyarakat umum belum sepenuhnya
ditampilkan dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Sejarah
Sosial ala Prof. Sartono Kartodirdjo
Sebagai
‘jembatan’ agar sejarah memiliki jangkauan yang lebih lengkap dan bermanfaat
bagi masyarakat luas, diperkenalkanlah sebuah pendekatan sejarah menggunakan
ilmu-ilmu sosial. Namun kerjasama tersebut kedua ilmu tersebut, menurut
kuntowijoyo,[4]
lebih nampak sebagai kontradisksi. Hal tersebut karena adanya perbedaaya yang
sangat mendasar dari kedua jenis ilmu tersebut.
Sejarah
bersifat unik. Artinya kejadian sejarah hanya berlaku sekali pada suatu tempat,
dan pada waktu tertentu. sejarah tidak mungkin terjadi untuk yang keduakali
ataupun kesekian kalinya. Sementara ilmu-ilmu sosial, lebih pada mencari pada
hal-hal yang bersifat umum, cenderung terjadi berkali-kali serta tidak terikat
dengan konteks ruang (space) dan waktu (time).
Perbedaan
yang lain yang lebih bersifat semu,[5] sejarah
itu diachronic, sedangkan ilmu sosial adalah synchronic. Sejarah
bersifat diachronic karena dalam penulisan sejarah melibatkan dua masa
waktu yang berbeda, dan yang dikaji adalah mengenai perubahan (change)
dan keberlangsungan (continuity). Sementara ilmu sosial bersifat synchronic,
yang hanya mempelajari sesuatu dalam satu waktu saja. Konsekuensi yang diambil
sejarawan ketika menggunakan ‘jembatan’
tersebut harus berpikir ganda, yakni dengan diachronic dan synchronic.
Penulisan
sejarah sosial diawali oleh Sartono, dengan karyanya yang berjudul
pemberontakan petani Banten,[6] dan Protes
Movement in Rural Java, mampu memadukan antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial.
Banyaknya permasalahan-permasalahan yang muncul yang multi dimensional. Oleh
karena itu diperlukan pula perlengkapan yang menggunakan metodologi yang sesuai
dengan permasalahan-permasalahan yang ada. Oleh karena itu, digunakanlah
pendekatan multidimensional. [7]Karya
beserta metodologinya ini kemudian diajarkan kepada murid-muridnya.
Tampaknya
rintisan pak Sartono ini cukup berhasil yang dibuktikan dengan munculnya
karya-karya sejarawan-sejarawan penerus pak Sartono dengan mengikuti jejak pemikiran
pak Sartono mengenai sejarah sosial. Seperti Djoko Suryo dengan Sejarah
Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, Suhartono dengan Apanage
dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830-1920), dan
Kuntowijoyo dengan Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-1915.
Mereka secara konsisten menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam penulisan
sejarah.
Sejarah
sosial, yang di Indonesia dirintis oleh pak Sartono, telah berhasil dengan
cemerlang mengubah paradigma, dari anggapan, sejarah hanyalah narasi-narasi
besar (grand narative) dimana hanya orang-orang besarlah yang, kearah
kelompok-kelompok serta berciri-ciri kolektif. Menurut pak Sartono, sebagaimana
dikutip oleh Bambang Purwanto, digunakannya pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam
metodologi sejarah, diharapkan agar “akan lebih banyak masalah yang nampak”.[8] Apa yang
dikatakan pak Sartono ini memang benar, dimana hal tersebut bisa disaksikan
dalam karya-karyanya beserta para pengikut jejaknya yang mampu mengungkapkan
banyak permasalahan sosial didalamnya. Namun, ada beberapa hal kecil yang
kurang begitu diperhatikan oleh pak Sartono, yaitu mengungkapkan hal kecil (mikro)
yang dilupakan (diabaikan) dalam sejarah.[9]
Mengakrabkan
Masyarakat dalam Historiografi Indonesia
Sejarah
Sosial ini sangat berjasa dalam penulisan sejarah Indonesia. Dengan pendekatan
ilmu-ilmu sosialnya, penulisan sejarah mampu menembus ilmu-ilmu sosial lainya,
seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan lain sebagainya. Sejarah terbuka
terhadap ilmu-ilmu yang lain. Kemudian, dengan pendekatan ilmu sosial ini, sejarah
mampu melakukan eksplorasi dan eksplanasi secara mendalam.
Tema-tema
historiografi seperti pemberontakan petani, industri gula, perkebunan, dan lain
sebagainya, begitu menarik ditulis oleh para sejarawan dengan menggunakan
pendekatan ilmu sosial ini. Hampir pada setiap sektor dibahas secara
terperinci, mulai dari segi sosial, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahkan
dari segi politiknya. Namun jika karya-karya tersebut ‘dilemparkan’ ke
masyarakat luas, karya-karya tersebut seolah-olah berada di awang-awang. Masyarakat,
karena tidak memiliki kontribusi nyata bagi mereka.
Tidak
dapat dipungkiri, tidak ada sesuatu yang sempurna. Mungkin itulah ungkapan yang
pantas disematkan pada sejarah sosial tersebut. Karena, meskipun memiliki
kontribusi yang sangat besar dalam penulisan sejarah Indonesia, ternyata masih
menyisakan permasalahan.
Salah
satunya adalah luputnya perhatian para sejarawan terhadap kehidupan sehari-hari
masyarakat ataupun terhadap segala hal sesuatu yang tampaknya sangat remeh.
Padahal bagaimanapun juga, kehidupan tersebut tampak sangat nyata didepan mata
kita. Ada sebuah ketakutan ketika sejarah dengan model tersebut diatas terus
berkembang, akan tidak berkontriubusi terhadap masyrakat. Padahal, agar sejarah
berguna bagi kehidupan masyarakat, tema-tema remeh serta kehidupan sehari-hari dari
masyarakat seperti itu seharusnya juga menjadi tema yang perlu dikembangkan secara
serius, selain juga terus mengembangkan sejarah sosial.
Terdapat
beberapa tawaran baru mengenai penulisan sejarah Indonesia yang dapat dilihat
dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.[10] Tawaran
baru tersebut berupa tema maupun metodologi. Tujuan tawaran baru tersebut
adalah, mengangkat segala hal tampak remeh (non mainstream) dan kecil (micro),
dimana hal tersebut lebih dekat dengan masyarakat dan agar sejarah memiliki
peranan dan mampu menjawab persoalan kekinian dalam masyarakat. Maka tema-tema seperti
kesenian ataupun mengenai kehidupan sehari-hari di angkat, agar sejarah
memiliki kontribusi untuk menjawab permasalahan dalam masayarakat kekinian.
Pandangan-pandangan
lain dalam penulisan sejarah juga dipaparkan dam buku New Pers Historical
Writing,[11]
dimana didalamnya banyak diungkapkan tema-tema baru yang bisa ditulis di
Indonesia, seperti sejarah tubuh, sejarah visual, sejarah mikro, sejarah
perempuan. Tema tema yang ditawarkan tersebut tentu saja sangat menarik untuk
dikembangkan lebih lanjut. Dengan ditulisnya tema-tema alternatif tersebut,
penulisan sejarah di Indonesia akan sangat bervariasi
Sesuai
dengan perkembangan jaman, tentu saja semangat jaman (zetgeist) dalam penulisan
sejarah juga berbeda, karena permasalahan-permasalah yang ada juga semakin
kompleks. Kita perlu mengembangkan wawasan dalam penulisan sejarah, karena
dengan demikian cara pandang kita terhadap sesuatu akan lebih luas dan dengan
pendekatan pendekatan tersebut akan dapat lebih banyak untuk menyingkap
permasalahan-permasalah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Djoko Suryo, bawa
sejarawan dituntut untuk melakukan pembaruan dengan melakukan upaya untuk
menghadapi kecenderungan-kecenderungan tersebut dengan mencari paradigma dan
metodologi yang dianggap tepat.[12]
Terobosan
Metode dan Metodologi
Sejarah Lisan
Tema-tema
baru tersebut tentu saja harus diikuti dengan metode-metodologi konvensional. Terdapat
permasalahan dalam metode sejarah konvensional, yang terlalu terpaku dengan
slogan ‘no document, no history’.[13] Dalam
hal ini dokumen begitu penting dalam penulisan sejarah, terutama dokumen
tertulis. Perlakuan semacam ini seolah-olah mencampakkan sumber-sumber yang
non-dokumen. Dampaknya adanya kemubadziran sumber-sumber oral, seperti tradisi
lisan, yang sebetulnya bisa dimanfaatkan sebagai salah satu sumber alternatif
dalam penulisan sejarah berbasis kearifan lokal.
Selain
penggunaan sumber tradisi lisan, metode sejarah lisan tampaknya perlu
dikembangkan lebih lanjut. Berbeda dengan tradisi lisan, sejarah lisan tidak
didapatkan tetapi dicari dengan kesengajaan. Hal ini dikarenakan tidak semua
jejak-jejak sejarah terekam dalam sumber tertulis.[14]
Seperti
ketika kita akan melakukan kajian terhadap seni sandiwara di Yogyakarta pada
masa revolusi misalnya. Tentu saja sumber-sumber cetak yang menyangkut hal
tersebut sangat terbatas. Dokumen yang berasal dari negara tidak mungkin
menyediakan atau menuliskan mengenai kegiatan seni sandiwara ini. Sedangkan
sumber-sumber tertulis yang diungkapkan melalui media massa pada masa tersebut
juga sangat terbatas informasinya.[15] Akan
sangat berspekulasi jika kita hanya menafsirkan dari sumber-sumber tertulis
yang sangat terbatas tersebut.
Dari
iklan-iklan tersebut, kita hanya bisa mengetahui seni sandiwara dari satu arah
saja, maksudnya hanya mengetahui dari apa yang diungkapkan melalui iklan di
Media. Misalnya seperti; judul sandiwara, pemainnya, selingan hiburan, dan
bahkan sumbangan materi yang diberikan oleh rombongan seni sandiwara tersebut,
yang menurut iklan akan diberikan kepada laskar rakyat ataupun badan-badan
perjuangan (resmi atau tidak resmi) lainnya.
Jika hanya melihat iklan tersebut, kita tidak
melakukan kroschek terhadap iklan-iklan di media massa tersebut,
bagaimana keadaan seni sandiwara yang diiklankan dalam harian lokal Yogyakarta
tersebut. Apakah benar seni sandiwara menyumbangkan materi untuk para
laskar-laskar melalui hasil penjualan tiket pertunjukan sandiwara tersebut?, Bagaimana
tanggapan penonton terhadap cerita-cerita sandiwara tersebut yang menurut iklan mampu mempengaruhi masyarakat
terhadap pengertian makna perjuangan?, kemudian dengan cara-cara seperti apa
keluarga para bangsawa berkontribusi dalam kesenian ini, dimana kesenian di kalangan
bangsawan terkenal elitis dan adiluhung. Lakon apa yang akan ditampilkan oleh
pertunjukan sandiwara dari kalangan keraton dan kenapa mereka melakukan hal
tersebut, menjadi pertanyaan yang sangat menarik untuk dicarikan jawabannya
Hal-hal
seperti ini tidak bisa didapatkan hanya dari sumber-sumber tertulis, baik itu
dari koran ataupun dari dokumen yang dikeluarkan oleh negara. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah metode yang mampu menjawab pertanyaan-pertannyaan tersebut
diatas.
Sejarah
lisan ini merupakan salah satu jawaban yang mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, yakni dengan melakukan wawancara dengan pelaku
sejarah, dalam konteks ini para pelaku seni sandiwara ataupun dari para
penonton seni sandiwara, hingga wawancara kepada laskar-lasykar rakyat. Dengan
demikian perubahan-perubahan bentuk dan fungsi dari seni sandiwara sebelum
revolusi dan pada masa revolusi dapat dikaji.
Dengan
demikian sejarah lisan tampaknya bisa digunakan untuk mengangkat sejarah yang
jejaknya tidak terekam dalam sumber cetak. Misalnya saja dalam sejarah seni,
sejarah keluarga, yang didalamnya berisi dengan sejarah yang akrab kehidupan sehari-hari
keluarga dan masyarakat tersebut.
Misalnya
saja pendidikan orang tua terhadap anak, bagaimana reaksi anak ketika melakukan
proter terhadap orang tua, bagaimana komunikasi anak dalam menghadapi orang tua
ketika terlibat dalam suatu masalah, dimana hal tersebut tidak terekam dalam
dokumen tertulis. Untuk mendapatkan hal itu, tentu saja harus dilakukan dengan
sejarah lisan.
Terdapat
beberapa keuntungan dari sejarah lisan, seperti yang dikemukakan oleh
Kuntowijoyo,[16]
pertama dengan sifatnya yang kontemporer sejarah lisan memberikan keuntungan
yang hampir-hampir tidak terbatas untuk menggali sejarah dari para pelakunya.
Kedua, sejarah lisan dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak terebutkan
dalam dokumen. Ketiga, permasalahan yang dibahas bisa menjad lebih luas, karena
tidak terpaku ada dokumen tertulis.
Dengan
demikian, sejarah lisan, dengan segala kelebihannya tersebut, sangatlah penting
sebagai metode sejarah yang diharapkan akan mengungkapkan kehidupan orang-orang
kecil yang (selalu) tidak memiliki tempat dalam dokumen tertulis, dimana
dokumen-dokumen tertulis lebih mendokumentasikan hal-hal yang lebih besar,
biasanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan negara.
Penggunaan Media
Visual sebagai Sumber
Dari
segi metode dan metodologi, dimulai dimunculkan ide dengan penulisan maupun
sumber-sumbernya adalah visual. Hal ini tampaknya diperlukan untuk menjawab
tantangan penulisan sejarah pada masa kini yang sangat memerlukan inovasi. Hal
ini tampak dalam tulisan Gelman Taylor yang menulis mengenai Aceh dengan menggunakan
narasi foto.[17]
Selain itu, Ivan Gaskel juga menawarkan
penulisan sejarah visual (history of image).[18]
Penggunaan
sumber visual tampaknya sangat menarik.
Kehidupan yang tercetak didalam gambar visual tersebut merupakan hasil tampilan
sebenarnya dari keadaan masalalu yang diambil pada jamannya. Dengan demikian
hasil rekostruksinya tentu saja menjadi lebih nyata, karena sejarawan memiliki
daya imaginasi yang lebih mudah dengan bantuan sumber visual.[19]
Penggunaan
sumber visual ini juga akan sangat memudahkan dalam menulis sejarah mengenai
seni pertunjukan. Foto-foto yang ada (jika ada) akan mampu memperlihatkan
keadaan yang sebenarnya mengenai seni sandiwara itu sendiri bahkan secara lebih
luas, mampu merekam kehidupak sosial disekitar seni sandiwara tersebut. Bentuk
panggung dapat kita lihat jelas dalam foto tersebut. selain itu, kostum yang
dipakai oleh pemain sandiwara juga dapat diketahui melalui foto tersebut. Antusiasme
penonton juga bisa dilihat dari foto-foto tersebut.
Gambaran
visual yang ada akan mampu merekam, apakah maksud dan tujuan yang dilakukan
oleh kelompok sandiwara keliling di Yogyakarta menemui sasarannya, (misalnya)
yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah penonton yang mengadiri setiap
pertunjukan seni sandiwara tersebut dipentaskan dan sejauh mana para penonton
memahami maksud-maksud yang disampaikan dalam sandiwara tersebut..
Selanjutnya,
hal yang lebih menarik dan tampaknya belum banyak yang dilakukan adalah upaya
untuk melakukan dokumentasi audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia yang
dilakukan oleh Henk Sculte Nordholt bersama Fridus Steijlen.[20] Jika
para sejarawan pada abad 19 memiliki alat untuk melakukan dokumentasi visual,
tentu saja penulisan sejarah bisa dilakukan dengan mudah. Dokumentasi ini
sangat diperlukan agar kedepan, penulisan sejarah mampu dihadirkan dengan
data-data yang modern dan canggih, sehingga kualitas dari penulisan sejarah
lebih dapat diterima sebagai keadaan yang sebenarnya. Hanya saja, dokumentasi
visual ini baru bisa dilakukan pada kalangan masyarakat umum. Sementara untuk
merekam secara audio visual
Melihat
perkembangan yang terjadi dewasa ini, tampaknya pergeseran-pergeseran ini tampaknya
merupakan pengaruh zeitgeist atau jiwa jaman yang berbeda antara
generasi terdahulu dengan generasi yang sekarang. Permasalahan-permasalahan
pada masa kini menuntut penulisan sejarah untuk lebih mengembangkan tema,
metode, maupun metodologinya.
Penulisan
sejarah yang mengangkat kehidupan sehari-hari, sebenarnya bukanlah perspektif
baru dalam penulisan sejarah. Di Jerman, Alf Ludtke pada tahun 1980
mengemukakan konsep Alltagsgeschite (sejarah-sehari-hari). Bersama
rekan-rekannya ia menekankan pentingnya mempelajari kehidupan sehari-hari
dengan fokus pengalaman pekerjaan, kehidupan keluarga, kehidupan bertetangga,
dan sekolah, untuk melihat struktur ekonomi, pola politik dan proses sejarah
yang menentukan kehidupan orang biasa dari bawah.[21] Aliran
ini muncul sebagai kritik dari penulisan secara ala narasi-narasi besar.
Sementara
penulisan sejarah di Indonesia pada tahun-tahun terebut, begitu populer dengan
sejarah sosialnya pak Sartono. Maraknya penulisan sejarah sosial ini
seakan-akan melupakan penulisan sejarah yang lebih berbasiskan masyarakat. Baru
pada akhir-akhir ini aliran Alf Ludtke ini masuk dan begitu populer dalam
penulisan sejarah Indonesia.
Pemahaman Terhadap
Permasalahan dan Sumber
Memahami
permasalahan, merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan oleh sejarawan
sebelum melakukan penulisan sejarah. Persoalan adalah sebuah masalah utama yang
harus dikerjakan, dan menjadi patokan yang berkelanjutan dalam penulisan
sejarah. Ketika tidak memahami sebuah permasalahan, bisa jadi hasil penulisan
akan melebar kemana-mana dan tidak menjawab permasalahan.
Penulisan
sejarah kehidupan sehari-hari yang dekat dengan masyarakat tidak mudah. Kesulitannya
terletak pada minimnya sumber dokumen tertulis yang menceritakan mengenai
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu metode maupun metodologinya pun harus
menyesuaikan dengan tema. Tujuannya adalah agar mampu mengeskplorasi secara
mendalam. Verstehen (pemahaman)[22]
dan hermeuniitc (penafsiran), merupakan beberapa metode yang bisa
digunakan untuk menjawab permasalahan dalam pengerjaan tema-tema tersebut. Pendapat
ini diperkuat dengan pernyataan Collingwood, bahwa metode yang tepat dalam mempelajari
sejarah ialah dengan memasuki alam pikiran dan perasaan aktor sejarah.[23]
Kedua
hal ini mutlak diperlukan untuk memahami apa yang dilakukan dan apa yang
dipikirkan oleh pelaku sejarah. Lebih jauh, hal tersebut juba bisa dimanfaatkan
sebagai alat untuk membaca sebuah sumber sejarah untuk menemukan makaa-makna
yang lebih dalam dari teks. Sumber-sumber yang tertulis dalam sebuah teks,
biasanya belum merupakan sumber yang layak untuk ‘dikonsumsi’ oleh sejarawan.
selain itu, hal-hal yang berhubungan dengan mental dan pikiran manusia pun (yang
tidak ada dalam sebuah teks) juga mampu diungkapkan.
Penjelasan
sejarah (Historical Explanation)[24]
Dalam
sebuah kuliah, Bambang Purwanto pernah mengatakan bahwa kekuatan utama dari
sejarah terletak pada narasinya.[25]
Pernyataan ini menegaskan, bahwa peranan narasi begitu penting dalam sejarah.
Narasi menjadi penghubung dari satu fakta dengan fakta yang lainnya, yang
kemudian menyusunnya menjadi sebuah narasi yang alurnya jelas dan dapat
dinikmati.
Kemampuan
si pengisah untuk bercerita dengan menggunakan gaya bahasa yang menarik,
bergairah dan hidup, akan memikat perhatian serta seasyikan pandangan.[26] Penggunaan
gaya bahasa tersebut menandakan bahwa sejarah selain sebagai ilmu, juga
terkandung unsur sastra didalamnya.
Narasi
dalam sejarah mengungkapkan fakta sekitar hal-hal yang setidaknya perlu diungkapkan
untuk mengetahu secara jelas sebuah peristiwa sejarah, seperti mengenai apa,
siapa, kapan, dan dimana. Disamping itu, dalam narasi tersebut juga memaparkan
mengenai bagaimana sesuatu tersebut telah terjadi.[27]
Penutup
Menurut
Sartono,[28]
metodologi tidak menjamin seseorang dengan begitu saja bisa mahir dalam menuliskan sejarah
tetapi juga diharapkan memiliki daya imaginasi, daya pengertian yang mendalam. Selain
itu, penguasaan metode sejarah juga menjadi kemampuan yang harus dikuasai oleh
sejarawan. Karena dalam penulisan sejarah memang melibatkan banyak faktor.
Dalam
penulisan sejarah, seorang sejarawan memiliki otoritas penuh terhadap karyanya,
mulai dari pemilihan topik, ruang (space), waktu (time), maupun
dari pendekatannya. Jadi tidak ada salahnya jika penulisan sejarah muncul
dengan banyak tema, metode maupun metodologinya. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh R. Aron, yang dikutip Sartono, dimana historiografi
berbeda-beda menurut negerinya, masanya, dan kepribadian dari sejarawan.[29]
Penulisan
sejarah di Indonesia sangat berbeda dengan diluar negeri. Jadi tidak heran jika
penulisan sejarah sosial ala Sartono ini telah populer di Amerika dengan
sebutan New History pada tahun 1912, kemudian di Prancis ada aliran Annales.
Padahal di Indonesia Sendiri, sejarah dengan pendekatan sosial ini
diperkenalkan pada tahun 1960-an, itupun setelah Sartono melakukan studi pascasarjana
di Yale University Amerika dan mengambil program doktoralnya di Leiden Belanda.
Dalam
tradisi historiografi di Indonesia tentu saja berbeda dengan negara-negara Barat
yang telah maju dalam historiografinya. Permasalahan-permasalahan dalam proses
perkembangan historiografi di Indonesia tentu berbeda dengan permasalahan-permasalahan
di Barat, yang tentu saja memerlukan pemecahan yang berbeda pula. Namun
setidaknya, tradisi historiografi Barat mampu memberikan gambaran dan pengayaan
wawasan terhadap perkembangan historiografi di Indonesia. Kedepan, seiring
dengan perkembangan historiografi di Indonesia, selain merupakan fingsinya yang
merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah, historiografi Indonesia akan mampu
menjawab permasalahan-permasalahan kekinian dalam masyarakat dengan menggunanak
pendekatan dan teori sejarah baru.[30]
DAFTAR
PUSTAKA
Alun Munslaw, The New History, (Harlow: Pearson Education
Limited, 2003)
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!,
(Yogyakarta: Ombak, 2006)
Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi
Indonesia Modern, (Yogyakarta: STPN Press, 2009)
Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed),
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, ( Jakarta: Obor-KITLV, 2008)
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (edisi 2),
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
-----------------, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation),
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008)
Nina Lubis (ed), 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirjo: Pelopor
Sejarah Indonesia, (Bandung: MSI Cabang Jawa Barat, 2001)
Peter Burke (ed), New Pers Historical Writing, (Pennynsylvania:
The Pennynsylvania State University Press University Park, 1991.
Sartono Kartodirdjo, Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Its
Conditions, Course and Sequel. A Case Study of Social Movement in Indonesia.
(‘s-Gravenhagen Martinus Nijhoff, 1966)
---------------------------, Pergerakan Sosial dalam Sejarah
Indonesia: Pidato Dies Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19 September
1967 di Sitihinggil Yogyakarta.
---------------------------, Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi
Sejarah, (Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama, 1993)
---------------------------, Perkembangan dan Pemikiran
Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982)
Sumber Non
Pustaka:
Iklan-iklan di harian
Kedaulatan Rakyat pada tahun 1946
Kuliah Kapita Selekta oleh Bambang Purwanto tanggal 23 Desember 2009,
di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
[1] Heather
Sutherland, Meneliti Sejarah Penulisan Indonesia dalam, Henk Sculte
Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 34,
[2]
Ibid.
[3] Bambang
Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!, (Yogyakarta: Ombak,
2006), hlm.57-58.
[4]
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2008), hlm. 117.
[5]
Ibid, 117-118.
[6] Judul aslinya adalah Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Its
Conditions, Course and Sequel. A Case Study of Social Movement in Indonesia.
(‘s-Gravenhagen Martinus Nijhoff, 1966).
[7]
Sartono Kartodirdjo, Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia: Pidato Dies
Natalies ke 18 Universitas Gadjah Mada, 19 September 1967 di Sitihinggil
Yogyakarta, hlm. 38.
[8]
Bambang Purwanto, Op. Cit., hlm.
59.
[9] Sartono
Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta,
Gramedia, Pustaka Utama, 1993),hlm. 75. Dalam hal ini Sartono mengungkapakan
bahwa “Kita (sejarawan) tidak tenggelam dalam naratif rinci, yang
dalam perspektif makro tidak bermakna samasekali.”
“Dalam
penulisan sejarah lokal misalanya, pak Sartono dengan tegas mengatakan,
pendekatan strukturlah yang mampu menempatkan peristiwa yang unik kedalam
kerangka konseptual sehingga dibuat generalisasinya; jadi penuh makna. Dengan
demikian, tidak tenggelam dalam naratif rinci, yang dalam perspektif makro tidak
bermakna sama sekali.”
[10] Henk
Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta:
Obor-KITLV, 2008)
[11]
Lihat Peter Burke (ed), New Pers Historical Writing, ( Pennynsylvania:
The Pennynsylvania State University Press University Park, 1991)
[12] Djoko
Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia
Modern, (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm. 11.
[13]
Ungkapan ini dipopulerkan oleh Leopold Von Ranke.
[14]
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (edisi 2), (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003), hlm. 26.
[15] Lihat iklan-iklan di Harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 1946, mengenai
pertunjukan kelilling seni sandiwara.
[16]
Ibid, hlm 29-30.
[17] Lihat Jean
Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto, 1873-1930, dalam Henk Sculte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 313.
[18]
Lihat tulisan Ivan Gaskell, The History of Image, dalam Peter Burke
(ed), New Pers Historical Writing, ( Pennynsylvania: The Pennynsylvania
State University Press University Park, 1991), hlm 168.
[19]
Mengenai penggunaan sumber visual, lihat juga tulisan James T. Siegel, The
Curse of the Photograph: Atjeh, 1901, yang menuliskan mengenai perang di
Aceh yang menggunkan sumber-sumber visual., dalam Henk Sculte Nordholt, Bambang
Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008),
[20] Lihat
Henk Sculte Nordholt dan Fridus Steijlen, Don’t forget to remember me: Arsip
audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad 21, dalam, Henk
Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 373.
[21] Henk
Sculte Nordholt dan Fridus Steijlen, Don’t forget to remember me: Arsip
audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad 21, dalam, Henk
Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia, ( Jakarta: Obor-KITLV, 2008), hlm. 373.
[22] Diungkapkan
oleh William Dilthey dalam Pattern and Meaning in History, yang dikutip
oleh Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003),
hlm. 209.
[23]
Ungkapan Colingwood yang dikutip Taufik Abdullah , Sine Ira et Studio, Tanpa
Kemarahan dan Rasa Berat Sebelah, dalam Nina Lubis (ed), 80 Tahun Prof.
Dr. Sartono Kartodirjo: Pelopor Sejarah Indonesia, (Bandung: MSI Cabang
Jawa Barat, 2001), hlm. 115.
[24]
Istilah ini meminjam dari judul buku Kuntowijoyo, Penjelasan sejarah
(Historical Explanation)
[25] Kuliah
Kapita Selekta oleh Bambang Purwanto tanggal 23 Desember 2009.
[26] Sartono
Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta,
Gramedia, Pustaka Utama, 1993), hlm 1.
[27] Ibid
[28]
Sartono Kartodirdjo, Perkembangan dan Pemikiran Historiografi Indonesia:
Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 69.
[29] Dikutip
oleh Sartono, dari R. Aron, Introduction to the Philosophy of History Modern,
(Boston, 1961), hlm. 282, dalam Pendekatan Ilmu Soial Dalam Metodologi
Sejarah, (Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama, 1993).
[30] Lihat Alun Munslaw, The New History, (Harlow:
Pearson Education Limited, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar