Rabu, 17 Juli 2013

Asian Values (Nilai Asia) dalam Penulisan Sejarah di Asia Tenggara



Asian Values (Nilai Asia) dalam
Penulisan Sejarah di Asia Tenggara

oleh: Aulia Rahman



Menurut Linda Tuhiwai Smith, Penelitian adalah soal memuaskan kebutuhan untuk mengetahui dan pengetahuan untuk memperluas batas-batas pengetahuan yang ada melalui sebuah proses penyelidikan sistematis. Rasionalitaas yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi Barat, memungkinkan direproduksi dan diartikulasikannya pengetahuan dalam suatu cara yang ilmiah dan superior.[1]

Asia Tenggara identik dengan negara-negara bekas koloni bangsa-bangsa Eropa, karena hampir semua negara-negara di Asia Tenggara pernah mengalami kolonialisme (kecuali Thailand). Melihat kenyataan tersebut, ketika akan berbicara mengenai sejarah Asia Tenggra, maka yang muncul adalah sejarah mengenai kolonialisme itu sendiri, yakni bagaimana bangsa kolonial berkuasa di koloninya (Asia Tenggara) dan bagaimana perlakuan masyarakat kolonial terhadap penduduk koloninya, baik secara fisik, mental, maupun dalam bentuk pencitraan masyarakat kolonial itu sendiri (pribumi).

Melihat kecenderungan penulisan sejarah Asia Tenggara oleh para ilmuwan Barat yang seperti itu, diperlukan usaha untuk mengungkapkan bagaimana yang sebenarnya masuarakat Asia Tenggara itu sendiri. Sejarawan Asia Tenggara diharapakan mampu mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak dilirik samasekali olleh para ilmuwan Barat ketika membicarakan masyarakat Asia Tenggara. Misalnya, mengenai bagaimana penduduk daerah koloni (jajahan) bertahan dalam masa-masa kolonial tersebut, atau ekonomi-ekonomi alternafif apa saja yang diusahakan masyarakat diluar dari petanian mainstream yang marak pada masa culturstelse (di Indonesia). Namun ternyata, apa yang diharapkan dari para sejarawan Asia Tenggara ini masih saja belum mampu untuk mengungkapkan  hal-hal yang seperti ini. Hal ini tidak lain adalah akibat dari masih banyaknya sejarawan Asia Tenggara dalam menuliskan sejarah Asia Tenggara masih terpaku dengan penggunaan teks-teks, yang notabene adalah sumber yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.

            Ini adalah salah satu bentuk dari keterbatasan perspektif yang berakar pada ketidak mampuan Historiografi (Indonesia) keluar dari kerangka pikir konvensional baik secara teoritis maupun metodologis, dan sekaligus sebagai tanda bahwa terdapat jarak pemisah yang lebar dengan penguasaan epistimologi dan metodologi. [2] Akibatnya adalah sejarawan begitu terpaku dengan menggunakan sumber tertulis, dalam arti sumber tertulis yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah dan mengabaikan penggunaan sumber-sumber tidak tertulis yang jenisnya begitu beragam. Terlebih lagi, para sejarawan begitu meremehkan kemampuan sumber-sumber tidak tertulis tersebut dalam melakukan tugasnya sebagai media pengungkap masa lalu, baik dalam peristiwa ataupun dalam mentalitas.[3]

Selain itu, usaha dari sejarawan Asia Tenggara untuk membuat penulisan sejarah Asia Tenggara yang rasional dan ilmiah, tentu saja akan menggunakan kaidah-kaidah maupun konsep-konsep Barat. Jika hal ini digunakan, tentu saja akan mereduksi sejarah itu sendiri, terutama sejarah mengenai masyarakat kolonial (pribumi). Hal ini tidak lepas dari adanya konsep-konsep Barat yang lebih menempatkan Barat itu sendiri sebagai bangsa yang superior serta menganggap yang lain bukan sebagai suatu elemen yang penting. Ini adalah konsep yang oleh Robert Cribb sebagai cara untuk mengidentifikasikan kelompok.[4]

Yakni bagaimana mengidentifikasi diri sendiri (self) beserta kelompoknya, serta bagaimana mengidentifikasi  orang lain (other) ataupun kelompok yang lain. Identifikasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesamaan suatu kelompok, sekaligus untuk membedakan kelompok yang lainnya, dimana tujuan akhirnya adalah adanya tindakan untuk memberikan perlakukan kepada kelompok-kelompok tersebut, apakah akan diperlakukan dengan perlakukan yang sama dan sederajat, atau hak akan diperlakukan dengan perlakukan yang berbeda. Inilah yang digunakan oleh kololonial di koloninya dalam menempatkan penduduk pribumi dan orang-orang asing lainnya.

Dalam kolonialisme, masyarakat pribumi dikodekan ke dalam sistem pengetahuan Barat. Stuart Hall, seperti yang disitir oleh Linda Tuwihai Smith, mengatakan bahwa hal tersebut menunjukkan Barat sebagai sebuah ide atau konsep, sebuah bahasa untuk membayangkan kompleksnya rangkaian cerita, ide, peristiwa sejarah dan hubungan sosial. Hall menandaskan bahwa konsep tentang Barat berfungsi dalam cara yang (1) memungkinkan kita mengkarakterisasi dan mengklasifikasi masyarakat kedalam berbagai kategori; (2) memadatkan citra kompleks berbagai masyarakat lain melalui sistem representasi; (3) Menyediakan sebuah model perbandingan standar; (4) menyediakan kriteria evaluasi yang bisa memperingatkan masyarakat-masyarakat lain.[5]

Konsep Barat ini, secara disadari ataupun tidak, telah mengakar kuat dalam ingatan maupun kebudayaan masyarakat Asia Tenggara. Dengan adanya peng-konsep-an seperti ini, bagi masyarakat Asia Tenggara ibarat sebuah penjara yang telah membatasi ruang gerak mereka (baik citra mapun perilaku) dalam tradisi penulisan sejarah dan dalam kesehariannya. Akibatnya dalam penulisan sejarah konsep-konsep Barat dalam memandang Asia Tenggra selalu diterapkan. Secara berulang-ulang, mereka pada akhirnya mereka pun terus menerapkan konsep-konsep Barat dalam Penulisan Mereka. Hasilnya, Eropa sebagai bangsa kolonial masih saja mendapatkan posisi yang dominian, dan tetap menempatkan masyarakat Asia Tenggara dalam posisi yang tidak mengutungkan.

Terdapat kritik dengan penulisan sejarah dengan menggunakan konsep Barat ini. Beberapa orang telah memulai untuk melakukan perubahan konsep Barat tersebut. Di Indonesia misalnya, penulisan sejarah dengan menggunakan konsep Barat disebut dengan historiografi kolonialsentris. Artinya penulisan sejarah dipandang dalam sudut pandang kolonial. Dalam penulisan sejarah ini, yang menjadi aktor utama dalam sejarah adalah orang-orang Barat yang sedang melakukan aktivitasnya di Hindia Belanda (Indonesia). Segala hal yang berbau kebarat-baratan, mendapatkan porsi yang dominan dalam penulisan sejarah dengan pendekatan kolonial ini. Sementara, penduduk pribumi hanyalah ditempatkan daam posisi pelengkap keberadaan bangsa kolonial. Ditempatkannya penduduk pribumi dalam posisi dan porsi yang seperti ini, terlihat bahwa terdapat keberpihakan penulisan sejarah dengan menggunakan konsep-konsep Barat.

Dengan menggunakan konsep Barat, masyarakat di daerah koloni di klasifikasikan secara herarkhis dalam beberapa kelompok. Sesuatu yang lazim, jika dalam pengelompokan tersebut Barat menempati posisi puncak hierarki, dan penduduk pribumi menempati posisi yang paling bawah. Sementara kelompok yang ditengah, konsep Barat memasukan unsur-unsur masyarakat diluar masyarakat yang ada di puncak dan masyarakat pada posisi yang paling bawah.

Dalam realitas keseharian, pengelompokan masyarakat ini berimbas pada pengistimewaan kelompok pada satu pihak dan penghambatan kelompok pada satu pihak. Pengistimewaan akan membawa pada hal-hal yang sifatnya menguntungkan, dalam hal ini masyarakat yang berada di puncak hierarkhi. sedangkan penghambatan akan mengabaikan hak pada kelompok yang lain, dalam hal ini penduduk pribumi. Kelompok yang berada di tengah, cenderung mendapatkan kemudahan, meskipun tidak sama persis dengan  kelompok masyarakat yang ada pada puncak hierarkhis.

Pengelompokan-pengelompokan seperti ini, disadari atau tidak akan berpengaruh terhadap mentalitas masyarakat.  Bagi masyarakat Barat, yang menempati puncak hierarkhi, akan menyebabkan munculnya mental superior dan berkuasa. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hak-hak istimewa dalam mendapatkan perlakukan. sementara bagi penduduk pribumi, mental-mental seperti itu tidak pernah muncul, yang ada hanyalah mental-mental inferior, terjajah, dan lain sebagainya. Hal ini berpengaruh juga terhadap citra dari masing-masing kelompok.

Segala hal yang berhubungan Barat, dianggap sebagai sesuatu yang baik dan patut dijadikan contoh, serta bisa digunakan sebagai alat penentu status sosial. Barat juga diidentikkan dengan cerdas, kritis, ulet, rajin. Sementara penduduk pribumi dicitrakan sebagai masyarakat yang bodoh, malahan, bisanya hanya mengikuti perintah, tidak memiliki inisaiatif, dan lain sebagainya. Ini kemudian digunakan sebagai bahan komparasi antara Barat dengan masyarakat pribumi.

Setelah sekian lama kolonialisasi berlalu, konsep-konsep yang dibuat Barat mengenai daerah kolonianya, tampaknya masih saja diabadikan, termasuk dalam hal klasifikasi masyarakat yang masih saja menggnakan konsep klasifikasi yang diciptakan oleh bangsa kolonial.  Hal ini dapat dilihat ketika para sejarawan melakukan penulisan sejarah, khususnya pada masa kolonial. Di Indonesia misalnya, ketika para sejarawan akan membicarakan masyarakat kolonial, yang dijadikan patokan adalah sistem stratifikasi masyarakat yang dibuat oleh Belanda. Jika penggunaan konsep tersebut dilakukan, maka hasilnya pun akan tidak jauh dengan hal-hal yang di atas yang berkenaan dengan superioritas masyarakat Eropa beserta dengan segala hak-hak istimewanya beserta citranya yang baik, dan penduduk pribumi muncul dengan inferioritasnya yang selalu tidak memiliki keuntungan dan keistimewaan beserta seluruh citra negatifnya.

Konsep-konsep Barat tersebut pada umumnya digunakan oleh Barat untuk menuliskan sejarah kolonialnya di Asia Tenggara. Hasilnya adalah superioritas Barat terhadap negara kolonianya. Jika para sejarawan di Asia Tenggara masih saja menuliskan sejarah dengan menggunakan konsep-konsep Barat ini, maka bisa dikatakan bahwa sejarawan yang melakukan penuisan sejarah tersebut sama saja kepanjangan tangan dari Barat, karena hanya melanggengkan konsep Barat dalam penulisan Sejarah Asia Tenggara.

Untuk keluar dari penjara konsep Barat tersebut, para sejarawan Asia Tenggara seharusnya membuat konsep baru yang menempatan penduduk pribumi sesuai dengan tempatnya. Hal tersebut didasari bahwa masyarakat pribumi tidak sepenuhnya seperti apa yang dicitrakan oleh konsep Barat. Bahkan, Barat pun sebenarnya tidak selalu seperti apa yang dicitrakannya. Sampai pada tataran ini, sejarawan harus kritis terhadap hal-hal seperti ini. Dinamika yang muncul pada masa kolonisasi Barat di Asia Tenggara sangat luar biasa, terlebih bagi penduduk pribumi.

Kolonialisme dengan nilai-nilai Baratnya telah merusak tatanan lokal, dan diganti dengan nilai-nilai, ide dan budaya Barat.  Hal ini tentu saja merusak niai-nilai lokal. Pasca kolonialisme, Asia Tenggara mencoba untuk melepaskan diri dari nilai-nial dan konsep-konsep Barat yang telah ditanamkan pada masa kolonialisme, dengan memperkenalkan konsep Nilai Asia (Asian Value). Nilai Asia ini sangat berbeda dengan nilai Barat. Nilai Asia lebih mengedepankan etika, sopan santun, dan lebih menghargai budaya lokal. Sedangkan nilai Barat sifatnya liberal, individualis, dan mengabaikan semua norma-norma yang ada dalam Nilai Asia.

Ilmuwan Barat memandang sebelah mata dengan adanya konsep Nilai Asia Ini, karena sejak dulu (jaman kolonisasi) mereka telah memiliki konsep sendiri mengenai Asia Tenggara, yang hingga  tetap bertahan meskipun era kolonisasi tersebut telah usai. Menurut mereka, nilai-nilai Barat tetaplah lebih unggul daripada Nilai Asia tersebut. Dengan mengakui adanya konsep Nilai Asia tersebut, sama juga dengan mendudukkan Nilai Asia pada posisi yang sejajar dengan Nilai Barat, serta  memberikan peluang bagi Asia Tenggara berkembang dengan identitasnya sendiri. Dengan demikian, nilai-nilai Barat akan segera ditinggalkan, digantikan dengan Nilai Asia,  dan sisa-sisa kolonialisme di Asia Tenggara akan tak berbekas.

Secara geografis, Asia Tenggara terdiri dari banyak sekali wilayah dengan bermacam-macam keanekaragaman budaya, agama, ataupun kearifan lokal lainnya. Namun Barat melakukan reduksi dalam memandang Asia Tenggara, dengan mengiidentikkan Nilai Asia dengan agama dan kepercayaan tertentu, terutama Islam dan konfusianisme. Mereka mengganggap Islam dan konfusianisme ini adalah nilai yang sangat dekat dengan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Dengan banyaknya kejadian-kejadian seperti terorisme (pemboman) yang melibatkan Islam, misalnya, tentu saja pandangan Barat ini tidak bisa disalahkan.[6] Namun seharusnya Barat juga bersikap obyektif dan tidak melakukan reduksi nilai-nilai kelokalan ketika memandang Asia Tenggara sebagai sebuah kesatuan kawasan.

Selain itu, pandangan seperti Ini tidak lain adalah sebuah bentuk ketakutan Barat terhadap Asia yang muncul sebagai kekuatan baru pasca perang dingin yang berujungan para runtuhnya Uni Soviet pada tahun 90- an. Kemudian Asia yang dicitrakan (secara sederhana menjadi) Islam dan konfusianisme yang mana setelah kolonialisme berkembang begitu dominan di Asia Tenggara, menjadi sesuatu hal yang patut diwaspadai. Menurut pendukung nilai-nilai Barat, hal ini tentu tidak bisa dibiarkan saja, karena akan menjadi saingan bahkan lawan dari nilai-nilai Barat. Beberapa ilmuwan yang tidak sepakat dengan gagasan Nilai Asia, mencoba untuk membongkarnya dan mencari celah-celah untuk melakukan ‘serangan’ nilai (budaya). Pertempuran nilai-nilai ini, oleh Samuel Huntington disebut dengan Clash of Civilisation (Benturan Perdaban). Hal tersebut sekaligus menandakan, bahwa pertempuran yang terjadi pasca kolonialisme bukan lagi mengenai ideologi, melainkan pertempuran kebudayaan.  

Beberapa Sejarawan Eropa juga sependapat dengan gagasan Nilai Asia, dengan mencoba untuk berbeda dengan penulisan sejarah modern dalam melihat Asia Tenggara. Salah satunya dengan menggunakan Fakta-fakta lokal, teks tradisional, serta mitos-mitos yang berkembang dimasyarakat sebagai sumber penulisan sejarah. Hal ini tentu saja penting untuk mempelajari dinamika-dinamika masyarakat pada tingkatan bawah, yang tidak terpantau oleh catatan-catatan kolonial. Yang lebih penting, penulisan dengan menggunakan sumber ini (mitos) adalah menulis sejarah Asia Tenggara dengan menggunakan sumber asli Asia Tenggara,[7] dan mengeluarkan citra masyarakat Asia Tenggara dari belenggu konsep Barat.

Lihat saja Geertz, James Siegel, Ben Anderson, dan Shelly Errington, yang mencoba menangkap kembali kesadaran sejarah Asia Tenggara yang berbeda dengan penulisan sejarah modern yang berkembang di Barat.[8] Selain itu lihat juga M.C. Ricklefs dan Peter Boomgard yang begitu cerdik dalam menuliskan masyarakat Asia Tenggara (Indonesia) dengan menggunakan konsep, pendekatan, serta sumber-sumber lokal, baik sumber tertulis maupun sumber tutur (cerita/ lisan). Ricklefs menuliskan menganai asal-usul abangan di Jawa yang ternyata sudah ada semenjak jaman kolonial.[9] Sedangkan Boomgard menuliskan cerita mengenai mitos-mitos yang berkaitan dengan mahkhluk ghaib (tuyul, Nyai Roro Kidul, Mentek, dan lain sebaginya) sebagai perantara untuk mendatangkan kekayaan secara cepat. Dengan cerdik, mitos-mitos ini oleh Boomgard digunakan untuk membaca mentalitas masyarakat pada saat mitos-mitos itu berkembang, dan kemudian didapatkanlah  kaitan yang erat antara berkembangnya mitos-mitos tersebut dengan krisis ekonomi yang terjadi di Jawa.[10]

Apa yang dilakukan oleh mereka patut diberi apresiasi yang luar biasa. Dengan demikian, pemahaman yang diberikan gambaran yang menarik dan beragam mengenai Asia Tenggara, sekaligus akan mengurangi (bahkan menghilangkan) pandangan-pandangan negatif Barat terhadap Asia Tenggara.




[1] Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hlm. 277-278.
[2] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!, (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 56.
[3] Ibid, hlm. 56.
[4] Robert Cribb dalam presentasi “Kemerdekaan dan Perubahan Jati Diri: Post-colonial Indonesia Identity”, Yogyakareta 14 Januari 2010.
[5] Linda Tuhiwai Smith, Ibid, hlm. 46.
[6] Osamah Bin laden seorang pimpinan Al-Qaeda, yang diduga menjadi otak pengeboman gedung World Trade Center (WTC) Amerika Sekrikat; Imam Samudra dan Amrozi yang menjadi dalang bom Bali I dan II;  Nurdin M. Top yang menjadi peracik Bom dalam beberapa peristiwa ledakan di Indonesia;, dimana mereka semua ‘berjuang’ dengan mengatasnamakan Islam.
[7] Lebih dikenal dengan penulisan sejarah dari dalam.
[8] T.N. Harper, Asian Values and Southeast Asian Histories, dalam The History journal, 40, 2 (1997), pp. 507-517, hlm. 511.
[9] M.C. Rickles, The Birth of Abangan
[10] Peter Boomgard, Illicit Riches: Economic development dan changing atitudes toward money and wealth as reflected in Javanese Popular Beher.

Tentang Kebenaran dalam Sejarah

Mungkinkan Sebuah Kebenaran
dalam Penulisan Sejarah?
oleh Aulia Rahman



Dalam bab pertama buku The Logic of History: Putting Posmodernism in Perspective karangan C. Behan McCullagh ini berjudul The Possibility of Historical Knowladge yang jika di-indonesiakan berarti “Kemungkinan dalam Pengetahuan Sejarah”. yang dipertanyakan dalam awal tulisan pada bab ini adalah posisi dari sebuah “kebenaran sejarah”.
Berbicara mengenai sebuah “kemungkinan” dan “kebenaran”, seperti membincangkan dua kutub yang berbeda. Karena memang secara ideal, mereka tidak akan pernah bertemu. Kenapa demikian? “Kebenaran” sifatnya obyektif, dimana sesuatu yang sudah diyakini kebenarannya melalui sebuah penelitian ilmiah. Sementara berbicara “kemungkinan”, terdapat banyak kemungkinan (lebih dari satu kemungkinan) mengenai sesuatu hal, termasuk kebenaran. Apalagi jika terdapat unsur subyektifitas, dimana hal tersebut akan menambah panjang daftar “kemungkinan”.
Kemudian jika dikaitkan dalam konteks penulisan sejarah, kebenaran tampaknya sesuatu hal yang hanya terjadi satu kali, yakni ketika peristiwa sejarah berlangsung. itulah satu-satunya kebenaran yang obyektif. Kemudian setelah kejadian itu terjadi, kebenaran dari peristiwa tersebut menjadi bias. Yang dapat diusahakan dalam sebuah rekonstruksi peristiwa adalah mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada masa lalu. meskipun demikian, terdapat beberapa usaha yang dilakukan para ahli filsafat sejarah, untuk mempertemukan antara “kemungkinan” dan “kebenaran”, agar mendapatkan “kemungkinan” yang sedekat mungkin dengan “kebenaran”.

Antara Behan McCullagh dan Ankersmits

Behan McCullagh dengan pendekatan Postmodern-nya, mencoba untuk menjawab permasalahan “kebenaran” dan “kemungkinan”, dengan teori Naïve Empirism[1] atau Empirisme yang tidak dibuat buat. yang ditekankan dalam Naïve Empirism ini adalah soal “rasa dari indra” dari sejarawan dalam memandang sesuatu. Artinya, sejarawan melakukan deskripsi dengan apa adanya, berdasarkan pengalaman panca indra kita dengan sumber dari fakta-fakta yang tersedia.
Namun tampaknya, Behan McCullagh tidak yakin dengan teori Naïve Empirism, dalam mengungkap sebuah kebenaran. Kemudian dia melakukan kritik terhadap teori tesebut. salah satu kritiknya, deskripsi mengenai masa lalu terstruktur menurut konsep yang dibawa oleh sejarawan, yang kemudian hal tersebut digunakan untuk membangun pandangan sejarawan, yang sebenarnya hal tersebut tregantung dari latar belakang budayanya[2]. selain itu ada kencerungan bagi sejarawan untuk melebih-lebihkan pada suatu hal yang menjadi ketertarikannya dan mengabaikan sesuatu yang tidak disenanginya.
Konsep yang ditawarkan oleh Behan McCullagh sangat bertentangan dengan prinsip “tanpa kemarahan dan rasa berat sebelah”, seperti yang diungkapkan Remmelink,  sebagai Sine Ira et Studio[3]. Dalam konteks ini, sejarawan harus menempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing dan sesuai dengan porsinya masing-masing, dan mengabarkan sesuatu dengan apa adanya tanpa ada rasa melebih-lebihkan sesuatu (meluap-luap, seperti ciri khas historiografi indonesiasentris), dan tanpa ada usagha untuk mengurangi makna (mereduksi) sesuatu hal.
Untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya, seharusnya pendapat dari Behan McCullagh tersebut dikombinasikan dengan teori-teori tentang kebenaran dari ahli sejarah atau ahli filsafat sejarah yang lainnya. Misalnya dengan menggunakan teorinya Ankersmits.
Terdapat 4 teori kebenaran menurut F.R. Ankersmith[4]. Pertama teori tindak bahasa, yang mengatakan bahwa kebenaran adalah tidak ada perbedaan antara suatu pernyataan mengenai sesuatu (P) dengan pernyataan lainnya mengenai (P). Kedua adalah teori pragmatis. menurut teori ini, sebuah ucapan benar bila ucapan itu terbukti merupakan pedoman yang dapat diandalkan. Ketiga, teori korespondensi, diamana untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan itu benar, bila terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang diucapkan di dalam kenyatan (historis). Keempat teori koherensi, suatu ucapan benar, bilamana ucapan tersebut ada kaitan (koheren) dengan sejumlah ucapan yang kebenarannya sudah diterima.
Jika teori dari Behan McCullagh lebih dengan menonjolkan panca indra sejarawan, maka teori yang dikemukakan oleh Ankersmit lebih banyak kearah teknis dalam pecarian fakta-fakta kebenaran. Artinya, teori tersebut tetap saja mengandung sebuah pertanyaan besar jika kembali dipertanyakan sebuah kebenaran dalam sebuah penulisan sejarah. Karena kemudian yang muncul adalah beberapa kemungkinan mengenai peristiwa tersebut. teori tersebut hanyalah berusaha melakukan kroschek dan mensinkronkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Tujuannya adalah sedapat mungkin mengurangi subyektifitas dari sejarawan. namun setidaknya teori yang dikemukakan Ankersmit ini sedikit banyak telah mengikis rasa skeptisme (ragu-ragu) yang muncul manakala terdapat sebuah rekonstruksi terhadap sebuah peristiwa.

Otoritas Sejarawan dan Penulisan Sejarah yang “Benar”

Seorang sejarawan memiliki otoritas dalam segala hal, yang berkenaan dengan penulisan sejarah, mulai dari pemilihan tema, pemaknaan, penggunaan metode dan metodologi, hingga ke dalam teknis penulisannya. Namun, dibalik otoritasnya tersebut, seorang sejarawan harusnya berusaha untuk melakukan hal yang terbaik terkait dengan penulisan sejarahnya. Penulisan sejarah dengan menggunakan metode yang tepat. akan mampu menghadirkan kembali peristiwa masa lalu dalam bentuk tulisan dengan sebuah makna yang tepat (sesuai dengan makna ketika peristiwa tersebut terjadi).
Oleh karena itu, akan lebih lengkap lagi sebenarnya, jika teori tentang “kebenaran sejarah” dari kedua sejarawan diatas ditambahi dengan pendekatan sejarahnya Collingwood, yang mengatakan metode yang tepat dalam mempelajari sejarah adalah dengan mamasuki alam pikiran dan perasaan dari aktor sejarah.


[1] C. Behan McCullagh, The Logic of History: Putting Posmodernism in Perspective, Routledge Taylor & Fancis Group, London and New York, hlm. 6.
[2] Ibid, hlm 6.
[3] W.G.J Remmelink, Sine Ita et Studio Tanpa Kemarahan dan Berat Sebelah, dalam Nina Lubis (ed), 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo: Pelopor Sejarah Indonesia, MSI cab. Jawa Barat &Satya Historika, 2001, hlm 30.
[4] F.R Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm 111-113.

Sejarah Dalam Bingkai Karya Fotografi

Sejarah Dalam Bingkai Karya Fotografi
oleh Aulia Rahman.


Ada sebuah ungkapan menarik yang mengatakan, bahwa sebuah foto dapat menjelaskan 1000 kata. Ungkapan tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Dari sebuah foto memang dapat digambarkan mengenai banyak hal yang terekam dalam foto tersebut. Selain itu, keakuratan dari gambar (bukan makna) tentu saja sangat bisa dipercaya, sehingga sangat layak untuk menggunakan fotografi sebagi salah satu sumber sejarah.
Studi sejarah menggunakan karya fotografi sebagai sumber sejarah untuk merekonstruksi masa lalu, tampaknya belum banyak dilakukan oleh para sejarawan. Baru sedikit sekali yang melakukannya dengan menggunakan model ini. Salah satunya adalah James T. Siegel, yang menggunakan data-data fotografi untuk melakukan studi sejarah, mulai dari kondisi sosial masyarakat native (pribumi), masyarakat Belanda (para elit maupun tentara), bahkan hingga interaksi antara masayarakat asli Aceh dengan orang-orang Eropa (Belanda) Ilmuan lain yang menggunakan sumber fotografi dalam penulisan sejarah adalah  Jean Gelman Taylor, yang menulis narasi tentang Aceh antara tahun 1873-1930.[1] Apa yang dibahas oleh Taylor pun juga tidak jauh dari apa yang di bahas dengan Siegel.
Terdapat perbedaan penggunaan fotografi di satu wilayah dengan wilayah yang lain. Di Jawa, fotografi bertujuan untuk melastarikan budaya seperti Candi Borobudur, kerajinan batik dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan di Aceh, dimana fotografi bukan peralatan untuk melestarikan budaya, tetapi peralatan tekhnologi yang dicurahkan untuk kekalahannya dan untuk merekam sisa-sisa kekalahannya.[2]
Menurut Jean Gelman Taylor, foto adalah catatan yang direkayasa secara canggih, hasil dari hubugan sekilas antara orang yang difoto dengan juru foto.[3] Berdasarkan pengertian ini, Fotografi sebagai hasil (gambar), mengandung beberapa unsur. Yang pertama adalah juru foto dan selanjutnya adalah obyek yang difoto.

kolonialisme dalam bingkai fotografi
Pertamakali kamera diciptakan, adalah bagian dari alat untuk ilmu pasti (science) karena foto yang dihasilkannya menyampaikan ide realitas dan ide kebenaran.[4] Nampaknya hal ini sangat berbeda dengan realitas yang berkembang, terutama perkembangan fotografi di negara kolonial, dimana fotografi juga bisa dijadikan alat untuk melanggengkan kolonialsime. Potensi untuk melakukan hal ini sangat besar dan tentu saja hasilnya sangat efektif.
Tidak seperti tulisan yang hanya bisa dibaca dan dipahami oleh kalangan tertentu (yang bisa membaca saja), gambar adalah simbol yang universal. Semua orang bisa langsung melihat gambar dan kemudian memahaminya, tanpa harus belajar membaca terlebih dahulu, meskipun pemaknaan terhadap gambar tersebut sangat berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Tentu saja ini disebabkan oleh gambar foto yang tampak begitu nyata seperti keadaan yang sebenarnya (ketika foto tersebut diambil), dan hasilnya dapat langsung dipahami oleh semua orang hanya dengan melihat gambar.
Disini peran juru foto sangat penting, karena dia memiliki otoritas mengenai hal apa saja yang menurutnya layak untuk diabadikan gambarnya melalui foto. Unsur subjektifitas yang melekat dalam diri juru foto begitu tinggi. Hal inilah kemudian, ketika foto tersebut digunakan sebagai sumber sejarah, akan terjadi sebuah rekonstruksi yang sangat berat sebelah. Juru foto memiliki peranan untuk meninggikan atau mengagung-agungkan sesuatu ataupun merendahkan sesuatu, hanya melalui foto. Sungguh luar biasa.
Kumpulan foto jaman kolonial dapat menimbulkan kesan dalam pikiran orang yang melihatnya, orang timur itu tidak ada kaitan dengan jaman dak pekerjaannya hanya terbatas pada pekerjaan statis membuat kerajinan tangan, dibandingkan dengan orang Barat yang dinamis dan menguasai seluk beluk mesin bertenaga uap.[5]
            Dalam fotografi, masyarakat pribumi sering ditampilkan sebagi masyarakat yang benar-benar pribumi sebagai bangsa terjajah, dimana mereka mendominasi pekerjaan-pekerjaan rendah seperti, pembantu rumah tangga, kuli, tukang masak, pengasuh anak, penjaja makanan, dan lain sebaginya. Dan dalam foto tersebut, tanpa diberi keterangan nama dari orang yang difoto tersebut. Yang tertera dalam keterangan foto jenis pekerjaannya, seperti misalnya  “pekerjaan laki-laki dalam masa kolonial”, “pembantu rumah tangga”, dan lain sebagainya. Dengan demikian, orang yang menyaksikan foto tersebut tidak diperkenankan mengetahui siapa sebenarnya orang yang ada di dalam foto tersebut dan hanya di berikan informasi bahwa yang ada di dalam foto adalah orang pribumi dengan jenis pekerjaan yang rendah.
Hal tersebut sangat bertolak belakang, ketika juru foto mengabadikan orang Eropa dalam fotografi. orang Eropa selalu digambarkan lebih superior dalam pakaian kebesaran mereka, sebagai seorang kontrolir, Gubernur Jendral, perwira perang, bahkan sebagai prajurit perang. Tentu saja  semua foto-foto dari orang-orang Eropa tersebut disertai dengan nama terangnya sekaligus jabatannya.
Menganai pembedaan perlakukan dalam citra fotografi ini, oleh Jean Gelman Taylor disebut sebagai proses pembedaan (othering)[6]. Artinya adanya proses pembedaan secara jelas dan nyata antara pribumi dan orang Eropa di kolonialisme. Seperti dalam tidak adanya penamaan dalam foto orang-orang pribumi, menandakan adanya kecenderungan untuk mengabaikan atau bahkan meniadakan keberadaan masyarakat pribumi sebagai individu yang independen, dimana nana-nama mereka (pekerjaannya tentu saja) dicantumkan dalam fotografi sebagai milik keluarga penjajah.[7]

Keberimbangan Sumber Fotografi
Dari uraian tersebut, rekonstruksi sejarah dengan sumber fotografi yang dihasilkan oleh juru foto Eropa saja, tentu saja akan menghasilkan sebuah rekonstruksi yang telah bisa diprediksikan sebelumnya. Isinya tentu saja hanyalah keunggulan orang-orang Eropa atas masyarakat pribumi. Agar ditemukan keseimbangan, diperlukan juga sumber fotografi yang juru fotonya berasal dari masyarakat pribumi. Juru foto pribumi tentu saja memiliki otoritas dan subjektifitas yang berbeda dengan juru foto. Dan tentu saja Juru foto pribumi juga melakukan proses othering di dalamnya. Dengan Menggabungkan hasil Fotografi dari kedua juru foto (Eropa dan Pribumi), setidaknya akan menghasilkan gambaran masa lalu yang berimbang.


[1]               Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto 1873-1930, hlm. 313 dalam Bambang Purwanto Dkk (ed), Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, Obor-KITLV, Jakarta, 2008.
[2]               James T. Siegel, The Curse of The Photograph: Atjeh, 1901, hlm 23
[3]               Ibid, hlm. 314.
[4]               Op. Cit, hlm. 315
[5]               Op. Cit, hlm. 316.
[6]               Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto 1873-1930, hlm. 316. dalam Bambang Purwanto Dkk (ed), Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, Obor-KITLV, Jakarta, 2008
[7]               Lihat dalam foto-foto Tieneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Yayasan Obor, Jakarta, 2007.